SELAMAT DATANG di BLOG saya. SEMOGA BERMANFAAT

Senin, 15 Oktober 2012

Karya Ilmiah Bahasa Indonesia tentang Jagung


BAB 1
PENDAHULUAN


  1. LATAR BELAKANG
            Jagung adalah tanaman yang penting untuk pangan dan pakan. Lebih dari 120 juta ha lahan kering pada berbagai area di dunia menjadi media utama pengusahaannya (Pingali 2001). Di Indonesia, selain pada lahan kering, jagung diusahakan pada lahan sawah setelah panen padi dengan produktivitas mencapai sekitar 7,0 t/ha (Puslitbangtan 2006).
            Dalam kaitan kehilangan hasil jagung, organisme pengganggu tanaman (OPT) menjadi penyebab penting apabila menginfeksi tanaman pada fase vegetatif, semakin muda tanaman terinfeksi semakin besar peluang kehilangan hasil. Selanjutnya pada fase pascapanen, OPT yang perlu menjadi perhatian adalah hama kumbang bubuk dan patogen tular benih yang menyebabkan penurunan kualitas hasil. Biji jagung, baik sebagai pakan, maupun pangan mudah rusak akibat faktor eksternal dan internal, sehingga kurang bermanfaat, bahkan dapat membahayakan kesehatan manusia dan ternak yang mengonsumsinya.
            Salah satu faktor eksternal yang berpengaruh terhadap kualitas pangan dan pakan dari jagung adalah infeksi cendawan Aspergillus spp., Fusarium spp., dan Penicillium spp. Cendawan tersebut dominan ditemukan pada jagung dalam penyimpanan (Muis et al. 2002). Infeksi awal terjadi pada fase silking di lapang, kemudian terbawa oleh benih ke tempat-tempat penyimpanan (Schutless et al. 2002). Patogen-patogen tersebut kemudian berkembang dan memproduksi mikotoksin, sehingga bahan pakan menjadi rusak dan bermutu rendah. Di daerah beriklim tropis, suhu, curah hujan, dan kelembaban yang tingi serta media penyimpanan tidak memadai, sangat mendukung perkembangan patogen-patogen tersebut.
            Secara umum pengertian mikotoksin yang dihasilkan oleh cendawan seperti Aspergillus spp., Fusarium spp., dan Penicellium spp. adalah hasil metabolisme sekunder yang bersifat toksik. Bath dan Miller (1991) serta Munclovd (2003) melaporkan bahwa mikotoksin dari A. flavus banyak mencemari produk-produk pertanian di berbagai negara. Di Indonesia, aflatoksin juga merupakan mikotoksin yang dominan mencemari produk pertanian, terutama jagung dan kacang tanah (Bachri 2001). 352 Jagung: Teknik Produksi dan Pengembangan Selain aflatoksin, Fusarium spp. dapat memproduksi fumonisin dan cukup banyak ditemukan pada tanaman pangan sebagai mikroorganisme pencemar produk komoditas pertanian (Oren et al. 2003). Penicillium spp. dapat memproduksi toksin ochtratoxin. Mekatoksin-mekatoksin tersebut menjadi salah satu penyebab kanker dan penurunan kekebalan tubuh pada manusia dan ternak.
            Di Indonesia, fumonisin dan ochtratoxin belum banyak dilaporkan, namun pencemaran aflatoksin diperkirakan telah lama terjadi sebagaimana yang dilaporkan Ginting (1986) bahwa kandungan aflatoksin pada jagung cukup tinggi.
            Untuk mengatasi penurunan kualitas produk-produk pertanian maka masalah mikotoksin pada bahan baku pangan dan pakan perlu mendapat perhatian. Kewaspadaan yang lebih awal diharapkan dapat menjadi salah satu cara dalam upaya peningkatan mutu produk jagung. Hal tersebut dapat
diupayakan dengan mengkombinasikan pemahaman terhadap pengetahuan biologi, inang, sebaran, toksisitas, dan komponen pengendalian lainnya.
Data dan informasi yang dikemukakan pada bahasan dimaskudkan untuk memberikan pemahaman tentang penyakit pascapanen jagung dan
upaya untuk menekan sekecil mungkin penurunan kualitas dan kuantitas hasil, akibat penyakit tersebut.

B.  RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang menyebabkan tanaman jagung itu dapat terserang penyakit cendawan hitam?
2. Apa gejala-gejala tanaman jagung yang terserang oleh hama penyakit  
    cendawan hitam?
3. Bagaimana cara kita untuk mengatasi tanaman jagung yang terserang hama  penyakit?



C.   HIPOTESIS
1. Tanaman jagung yang terlalu akan mengakibatkan kelembaban yang tinggi biasanya tanaman seperti ini mudah terserang penyakit cendawan hitam.
2. Tongkol yang diserang kelihatan membengkok, ada yang kecil dan ada yang besar. Mula-mula cendawan berwarna keputihan sebab masih tertutup memran. Kemudian berubah menjadi lebih tua, ungu mudah, dan berubah menjadi hitam . Bila pembengkokan telah masak, membran yang menutup menjadi kering dan pecah. Lalu keluarlah spora berbentuk tepung kering yang warnanya hitam dan berhamburan bila terhembus angin
3. ●   Jangan menanam dengan jarak terlalu rapat
·         Jangan menggunakan kompos/pupuk kandang yang berbibit penyakit
·         Tanaman yang sakit dibakar, jangan diberikan kepada ternak atau dijadikan  pupuk kompos
·         Menanam varietas yang resisten
·         Biji didifeksi, misalnya dengan larutan sublimat
·         Dilakukan rotasi tanaman atau jangan terus menerus menanam di suatu  tempat


  1. TUJUAN PENELITIAN
Untuk mengetahui dan mengidentikasi penyakit-penyakit yang menyerang tanaman jagung

  1. MANFAAT PENELITIAN
Hasil penelitian diharapkan dapat mengembangkan pengolahan pangan selain dari tanaman padi, yaitu bahan pangan dari tanaman jagung







BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A.                PATOGEN Aspergillus Spp.
·         Sebaran dan Gejala
Aspergillus spp. pertama kali dilaporkan di Turki pada tahun 1960, kacang tanah yang diimpor dari Brasil tertular berat dan menyebabkan kerugian yang besar bagi usaha tanaman kacang tanah dan toksinnya pada waktu itu diberi nama aflatoksin (Swindale 1987). Aspergillus spp. Kemudian dilaporkan di banyak negara, dan menjadi kendala, terutama dalam kualitas biji-bijian sebagai bahan pangan dan pakan. Christensen dan Meronuck (1986) melaporkan bahwa dari 33 spesies yang ditemukan, A. flavus dan A. farasiticus adalah cendawan yang mempunyai kesamaan yang erat dan menginfeksi biji-bijian dan beberapa jenis tanaman lainnya. Dari beberapa spesies Aspergillus spp., A. flavus teridentifikasi sebagai penyakit penting yang menginfeksi biji jagung. Inang utama A. flavus adalah jagung, kacang tanah, dan kapas. Penyakit ini mempunyai banyak inang alternatif, sekitar 25 jenis tanaman, khususnya padi, sorgum, dan kacang tunggak (CAB International 2001). Pakki dan Muis (2006) melaporkan bahwa Pakki dan Talanca: Pengelolaan Penyakit Pascapanen Jagung 353

         A. flavus ditemukan pada fase vegetatif dan generatif tanaman, serta pasca panen jagung.
            Pada jagung, gejala Aspergillus spp. ditandai cendawan berwarna hitam, (spesies A. niger) dan berwarna hijau (A. flavus). Infeksi A. flavus pada daun menimbulkan gejala nekrotik, warna tidak normal, bercak melebar dan memanjang, mengikuti arah tulang daun. Bila terinfeksi berat, dan berwarna coklat kekuningan seperti terbakar. Gejala penularan pada biji dan tongkol jagung ditandai oleh kumpulan miselia yang menyelimuti biji (Gambar 1A). Hasil penelitian Pakki dan Muis (2006) menunjukkan adanya miselia berwarna hijau dan beberapa bagian agak coklat kekuningan. Pada klobot tongkol jagung, warna hitam kecoklatan umumnya menginfeksi bagian ujung klobot, perbedaan warna sangat jelas terlihat pada klobot tongkol yang muda.
            Bentuk konidia bulat sampai agak bulat umumnya menggumpal pada ujung hipa (Gambar 1B) berdiameter 3-6 μm, sklerotia gelap hitam dan kemerahan, berdiameter 400-700 μm. Konidia A. flavus dapat ditemukan pada lahan pertanian. Pada areal pertanaman kapas, A. flavus ditemukan lebih dari 3.400 koloni/g tanah kering, dan pada area lahan pertanaman jagung 1.231/g tanah kering (Shearer et al. 1992). Keadaan ini menggambarkan bahwa populasi koloni pada media tumbuh jagung dapat menjadi sumber inokulum awal untuk perkembangannya. Perkembangan sklerotiadari tanah sampai mencapai rambut jagung hanya dalam tempo 8 hari (Wicklow et al. 1984). Dari 33 spesies yang telah dilaporkan (CAB International 2001), A. flavusmerupakan spesies dominan yang menginfeksi jagung. A. flavus merupakan patogen utama pada pascapanen jagung dan banyak mendapat perhatian para peneliti mikotoksin di Indonesia. Patogen ini memproduksi toksin dan menginfeksi komoditas pertanian yang dikonsumsi manusia maupun

A B
            Karakter bionomi A. flavus memberi gambaran bahwa cendawan tersebut mempunyai daya tular yang tinggi dari pertanaman ke tempattempat penyimpanan. Pakki dan Muis (2006), menemukan bahwa bawaan dari biji tidak selamanya menampakkan gejala, namun juga berasal dari yang tidak bergejala. Hal yang sama juga dilaporkan oleh Christense dan Meronuck (1986) bahwa A. flavus dapat menginfeksi ke bagian internal biji, namun tidak dapat ditularkan ke pertanaman selanjutnya. Hal ini juga memberi petunjuk bahwa pencegahan lebih dini di areal pertanaman akan mengurangi biji terinfeksi dan sekaligus menekan intensitas aflatoksin di tempat-tempat penyimpanan.


Toksisitas
Aflatoksin yang dihasilkan oleh metabolisme sekunder cendawan A. flavus telah banyak dilaporkan di berbagai negara, sedangkan di Indonesia datanya masih sangat terbatas. Hasil penelitian Stemou et al. (1997) mengindikasikan adanya korelasi positif antara infeksi A. flavus dengan kontaminasi aflatoksin. Semakin tinggi infeksi A. flavus semakin tinggi
kontaminasi aflatoksin (Tabel 2). Kontaminasi aflatoksin dimulai dari infeksi dini A. flavus di pertanaman dan terbawa ke tempat penyimpanan, kemudian menjadi sumber inokulum awal penyebab kontaminasi di gudang-gudang penyimpanan. Peluang perkembangan A. flavus makin besar apabila benih disimpan pada kadar air tinggi. Menurut Asevedo et al. (1993), kadar air optimum yang tidak memberi peluang bagi cemaran aflatoksin adalah 11%, suhu media penyimpanan 15oC dan kelembaban 61,5%.

Tabel 1. Beberapa spesies Aspergillus.
Spesies Spesies Spesies
carbonarius japonicus restrictus
clavatus kambarensis s y d o w i i
ficheri luchuensis t a m a r i i
flavifes n i g e r terreus
flavus ochraceus ustus
F. oryzae parasiticus versicolor
Fumigatus
Sumber: CAB International (2001).
Pakki dan Talanca: Pengelolaan Penyakit Pascapanen Jagung 355
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis aflatoksin yang ditemukan pada biji jagung pada umumnya adalah aflatoksin B1 (AFB1) dan aflatoksin B2 (AFB2) (Tabel 3).
           Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa AFB1 dan AFB2 adalah aflatoksin yang mencemari biji jagung. Jagung menjadi sumber utama aflatoksin pada pakan komersial, ini terlihat dari kandungan AFB1 yang dapat mencapai 2333 μg/g2. Sesuai dengan yang dikemukakan oleh Bachri (2001), dari keempat macam aflatoksin (AFB1, AFB2, AFG1, AFG2), AFB1 paling sering ditemukan di alam, dan mempunyai bawaan toksigenik yang tinggi, dan berbahaya bagi kesehatan ternak dan manusia. Apabila bahan makanan, dan pakan terkontaminasi oleh aflatoksin dan termakan oleh hewan dalam jumlah tertentu, dapat menimbulkan residu pada hewan tersebut. Menurut Stack (2000), ambang kandungan aflatoksin pada pakan sapi dan babi adalah 100 ppb dan untuk unggas adalah 200 ppb. Ternak yang mengonsumsinya secara terus menerus akan akan menurun kekebalan daya tahan tubuhnya dan merusak organ hati.

Tabel 3. Jenis aflatoksin yang mengkontaminasi biji jagung.
Jenis aflatoksin Kadar aflatoksin Pustaka
AFB1, AFB2 - Diener (1989)
AFB1, AFB2 23,33-262,3 ppb Stemou et al. (1997)
AFB1 418 μg/g2 Robert et al. (1993)
AFB1 - Vieira (2003)
Aflatoksin 15,6-2.333 μg/g2 Ernesto et al. (2000)
AFB1 39,10 ppb Bachri et al. (1995)
AFB1 27-299 ppb Gou et al. (1999)
AFB1 = Aflatoksin B1.
AFB2 = Aflatoksin B2.
Tabel 2. Persentase infeksi A. flavus pada biji dan kontaminasi aflatoksin di enam wilayah
pengamatan.
W i l a y a h Presentase infeksi Kontaminasi aflatoksin
A. flavus (B1+B2) (ppb)
Overall 82,5 60,0 136,8 139,8
Southern Guinena 95,0 93,0 241,2 262,9
Nourthern Guinena 85,0 33,0 109,5 80,6
Coastal 70,0 80,0 16,7 23,3
Sudan 75,0 33,0 28,3 27,5
Sumber: Stemou et al. (1997).
356 Jagung: Teknik Produksi dan Pengembangan
B.        PATOGEN Fusarium Spp.
  • Sebaran dan Gejala
Fusarium spp. adalah patogen utama yang sering dijumpai pada beberapa jenis tanaman dan dilaporkan memiliki 31 spesies (Glenn et al. 2001). F. vertilicilliodes merupakan sinonim dari spesies F. moniliforme, dan dominant ditemukan pada tanaman jagung dan menginfeksi akar, batang, pelepah, dan tongkol, terutama biji (Schutless et al. 2002). Di Sulawesi Selatan, pada berbagai cara penyimpanan jagung oleh petani ditemukan 10,6% menginfeksi biji (Pakki et al. 2003). Fusarium spp. tergolong phylum Ascomycota dari famili Hypocreaceae. Patogen F. moniliforme menghasilkan spora aseksual, misellia terbagi atas 3-7 sekat dan berukuran 2,4-4,9 x 150 x 160 μm. Konidia dihasilkan dari rantai potongan hipa, berdiameter 25-50 x 3-9 μm. Pada Tabel 4 dapat dilihat beberapa taksonomi spesies dari F. verticilliodies dan F. moniliforme.
            Daerah sebaran Fusarium spp. meliputi daerah dingin dengan suhu 5oC sampai daerah tropik dengan suhu 20oC, dan dapat hidup baik pada wilayah kering dengan curah hujan tahunan < 250 mm sampai daerah basah dengan curah hujan di atas 1000 mm per tahun. Di Indonesia baru dilaporkan enam spesies dan satu di antaranya adalah F. moniliforme yang dominan menginfeksi jagung (Bachri 2001).
            Gejala khas patogen ini adalah terdapat kumpulan miselia pada bagian permukaan batang atau tongkol dan biji jagung, berwarna keputihan dan terdapat warna merah jambu. Infeksi pada batang jagung biasanya menyebabkan pembusukan, invasi ke dalam biji melalui rambut jagung pada ujung tongkol, selanjutnya menginfeksi biji pada bagian dalam tongkol, bersifat symptomless atau dapat ditemukan pada biji yang tidak bergejala, menginfeksi ke bagian internal biji jagung, dan dapat ditularkan melalui biji (Munclovd and Biggerstaf 2000).

Tabel 4. Taksonomi spesies F. verticilliodies dan F.
m o n i l i f o r m e .
Spesies Fusarium Spesies Fusarium
F. acuminat F. intricans
F. avenaceae F. nygamai
F. baccata F. pulicaris
F. fujikuroi F. stilboides
F. gardoni F. tricincta
F.imperatae F. xylarioides
F. indica F. zeae
Sumber: Cab International (2001).
Pakki dan Talanca: Pengelolaan Penyakit Pascapanen Jagung 357
Toksisitas
F. moniliforme memproduksi mikotoksin yaitu fumonisin dan bersifat toksik pada ternak dan manusia (Oren et al. 2003). Toksin lain yang dihasilkan oleh F. graminearum adalah zearalenone. Toksin ini belum banyak mendapat perhatian namun juga berdampak buruk terhadap ternak. Di Jawa Barat, Okky et al. (1993) telah mengidentifikasi toksin zearalenone pada biji jagung dan gandum. Di Amerika, toksin fumonisin dan zearalenone telah ditemukan mengkontaminasi biji jagung dan tingkat toleransi mikotoksin zerealeunone belum tampak teridentifikasi (Tabel 5).

C.        PATOGEN Penicillium Spp.
  • Sebaran dan Gejala
            Patogen Penicillium spp. pada biji jagung ditemukan berupa gumpalan miselia berwarna putih menyelimuti biji, diselingi warna kebiru-biruan (Gambar 2). Patogen ini adalah patogen tular benih yang mempunyai inang utama jagung. Tanaman lain belum dilaporkan dapat menjadi inangnya, namun dapat menginfeksi tanaman jagung pada fase prapanen dan pascapanen.
            Bagian tanaman yang dapat terinfeksi adalah batang, daun, biji dan telah teridentifikasi 18 spesies (Tabel 6). Intensitas penularan pada biji jagung dapat mencapai lebih dari 50% (Handoo dan Aulakh 1999). Gejalanya ditandai oleh bercak pada kulit ari biji, bila menginfeksi tongkol secara optimal menyebabkan pembusukan(Satula 1969). Pengaruh terhadap kualitas benih adalah penurunan daya tumbuh (Kohler 1960). Spesies P. oxalicum memproduksi oxalid acid dan bersifat toksik terhadap biji.
            Penicillium spp. dapat ditularkan melalui biji. Apabila ditanam, biji-biji yang terinfeksi Penicillium spp. dari lokasi pertanaman dapat menularkan

Tabel 5. Toksin dan tingkat toleransi kandungan mikotoksin Fusarium moniliforme pada jagung.
Spesies Fusarium Mikotoksin Tingkat toleransi cemaran
mikotoksin untuk ternak
F. moniliporme Fumonisin 5 ppm (kuda)
10 ppm (babi)
50 ppm (sapi)
F. graminearum Zearaleunone -
Sumber: Stack (2000)
358 Jagung: Teknik Produksi dan Pengembangan
pada pertanaman selanjutnya. Patogen akan berkembang baik pada suhu < 15oC dan akan tertekan perkembangannya pada suhu >25oC. Penyebaran dalam suatu populasi tanaman di lapang selalu berassosiasi positif dengan populasi serangga. Semakin tinggi populasi serangga, semakin besar intensitas biji terinfeksi Penicillium spp. karena serangga dapat menjadi vektor penyebar perkembangan patogen ini di pertanaman dan tempatpenyimpanan.
            Toksin hasil metabolisme sekunder dari patogen Penicillium spp. Adalah ochratoxin dan citreoviridin, yang dapat meracuni ternak. Di Indonesia, toksin ini belum banyak mendapat perhatian peneliti, sehingga belum ada laporan tentang pengaruh terhadap kesehatan ternak. Gambar 2. Gejala Penicillium spp. pada biji jagung.

Tabel 6. Beberapa spesies Penicillium yang menginfeksi
tanaman jagung.
P. aurantiogriseum P. hirsutum
P. brevicompactum P. italicum
P. chysogenum P. nigricaus
P. citrinum P. oxalicum
P. digitatum P. purpurogenum
P. expansum P. raistrickii
P. frequentas P. rubrum
P. funicolosum P. simplicissum
P. gadlewski P. viridicatum
Pakki dan Talanca: Pengelolaan Penyakit Pascapanen Jagung 359

D.        Hama dan Penyakit

Hama dan penyakit penting pada tanaman jagung adalah:
Hama. Lalat bibit (Atherigona exigua Stein) 
Setelah 4-5 hari ditanam biasanya biji mulai tumbuh. Penyemprotan untuk mencegah/memberantas lalat bibit segera dilakukan setelah biji tumbuh dan tersembul di atas tanah. Penyemprotan dilakukan dengan interval 2-3 hari sekali. Pestisida dipergunakan adalah Basudin (Diazinon), Surecide dan lain-lain, dengan dosis 1,5- 2,5 cc/ liter air. Serangan lalat bibit ini berlangsung sampai tanaman berumur tanaman ± 3 minggu.

Ulat Agrotis (agrotis Sp ) ,       
Hama ini menyerang pada waktu tanaman masih kecil. Dapat diberantas dengan cara mencari dan membunuh ulatnya, yang biasanya terdapat di dalam tanah atau sebelum ditanami, tanah diberi insektisida terlebih dahulu.


Ulat daun (Prodenia litura F).
Menyerang pupuk daun pada waktu tanaman berumur 1 (satu) bulan. Pemberantasan agar dilakukan secepatnya dengan insektisida seperti terdapat pada serangan lalat bibit.

Penggerek daun (Sesamia inferens WLK).
Menyerang pada waktu tanaman telah berbunga.
Tindakan pencegahan dapat dilakukan dengan penyemprotan segera setelah terlihat adanya telur-telur yang biasanya terletak di bawah daun pada saat menjelang berbunga.

Ulat tanah (Leucania unipuncta, HAW)
Menyerang daun tanaman dewasa, biasanya pada malam hari, sampai mencapai jumlah ratusan. Penyemprotan harus dilakukan setelah gejala pertama terlihat dan jangan sampai terlambat.

Ulat tongkol (Heliothis armigera),
Merupakan, ulat perusak tongkol yang penting. Penyemprotan harus segera dilakukan bilamana terlihat telur-telur yang biasanya diletakkan pada rambut (silk) dan bakal buah atau tongkol: Secara umum, penyemprotan sebaiknya dilakukan bilaman diperlukan saja, sehingga penggunaan- pertisida lebih efisien. Waktu yang baik untuk menyemprot adalah pagi hari antara jam 06.00 – 09;00 atau sore hari jam 16.00 -18.00

Penyakit:
Penyakit terpenting pada jagung adalah penyakit bulai, atau downy mildew (Sclerospora maydis Palm). Tanaman yang terserang- daun-daunnya herwarna kuning keputih-putihan bergaris-garis klorotis sejajar dengan arah urat daun. Pada bagian bawah daun terdapat Konidia berwarna putih seperti butiran-butiran tepung: Menyerang tanaman.muda sampai umur ± 45 hari.

Serangan pada tanaman semasa kecil sering mengakibatkan kematian: Serangan pada tanaman yang lebih besar mengakibatkan pertumbuhan tongkol yang tidak sempurna. Pemberantasan , dengan fungisida atau bahan kimia lain yang efektif sampai saat ini belum diketemukan. Usaha pemberantasannya yang dilakukan adalah dengan mencabut dan membakar tanaman yang terserang dan menanam kembali dengan varitas yang tahan. Dewasa ini terdapat beberapa. varitas yang tahan seperti DMR.S, DMR:3, dan beberapa varitas-hasil persilangan yang masih dalam pengujian (Harapan, DMR dan sebagainya).

2. Penyakit-penyakit penting yang terdapat pada jagung di antaranya adalah becak daun (Helminthosporium sp) dan karat daun (Puccinia sorghi Sehw).

E.        PENGENDALIAN
            Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengendalian Aspergillus spp., Fusarium spp., dan Penicillium spp., dapat dilakukan pada fase prapanen dan pascapanen.
Prapanen
            Pencegahan infeksi dini Aspergillus spp., Fusarium spp., dan Penicillium spp. dapat dilakukan dengan rotasi pertanaman bukan inang, yang akan memutus siklus perkembangannya. Pencegahan penularan oleh serangga dengan penyemprotan insektisida dapat berefek ganda, yaitu meminimalisasi penyebaran patogen dalam suatu populasi tanaman jagung karena tertekannya populasi serangga yang menjadi vektor penyebarannya di pertanaman.
            Di Indonesia, penggunaan varietas tahan untuk pengendalian Aspergillus spp. belum banyak dilaporkan. Scoot dan Zumono (1999) menemukan varietas yang mempunyai ketahanan yang tinggi terhadap A. flavus seperti galur-galur inbrida LB31, IH 513, dan C12. Wakman et al. (2003) melaporkan varietas-varietas yang mempunyai ketahanan yang tinggi antara lain adalah Bisi-1, Bisi-2, Bisi-3, Bisi-4, Bisi-5, Bisi-6, Pioneer-4, Pioneer-5, Pioneer-7, Kalingga, Bisma-1, dan Bisma-2. Pengendalian patogen prapanen dengan penggunaan varietas tahan dapat mengurangi sumber inokulum awal sehingga efektif menekan perkembangan cendawan Aspergillus spp., Fusarium spp. dan Penicillium spp. di penyimpanan.
            Pengelolaan air yang baik menghindari tanaman dari stress air yang mengakibatkan biji jagung mudah terinfeksi A. flavus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa panen tepat waktu dapat menekan kontaminasi cemaran aflatoksin (Jonis et al. 1981). Pengendalian dengan asam propianik dapat menekan kontaminasi mikotoksin sekitar 85%, dan menekan infeksicendawannya di pertanaman lebih dari 90% (CAB International 2001).
BAB III
BAHAN DAN METODE

A.        BAHAN DAN METODE
            Penelitian dilakukan di Laboratorium Pro-teksi Tanaman dan rumah kaca Fakultas Per-tanian Universitan Bengkulu, dari bulan April sampai dengan bulan  Oktober 1998.  Penelitian dilakukan dalam dua tahap, yaitu di Labora-torium Proteksi Tanaman (secara in-vitro) dan di rumah kaca  (secara in-vivo). Agen pengen-dali hayati diisolasi dari tanah tanaman jagung baik tanah biasa maupun tanah gambut, dengan metode pengenceran. Isolat yang diperoleh kemudian dimurnikan dalam medium PDA atau NA dan diidentifikasi.

            Percobaan di laboratorium, dilakukan uji biakan ganda yaitu menumbuhkan isolat mikro-organisme yang diperoleh bersama-sama dengan patogen pada satu cawan petri. Tujuannya ialah untuk melihat reaksi antagonisme dari isolat-isolat yang di peroleh terhadap Rhizoctonia sp., dan dihitung persentase penghambatannya. Selanjutnya isolat-isolat yang mampu menekan pertumbuhan Rhizoctonia sp. lebih dari 60% ditumbuhkan pada tanah gambut yang telah disterilkan, dan dihitung pertambahan konidia jamur  atau sel bakteri. Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel. Mikroorganisme yang pertumbuhannya baik pada tanah gambut steril tersebut akan digunakan untuk percobaan di rumah kaca secara in-vitro.

            Percobaan di rumah kaca menggunakan rancangan acak lengkap dengan satu faktor, yaitu macam agen pengendali hayati. Ulangan dilakukan sebanyak enam kali.

            Medium tanam yang digunakan ialah tanah gambut yang  telah terinfeksi Rhizoctonia sp. Tanah tersebut dimasukan ke dalam polibag sebanyak 10 kg. Inokulasi mikroorganisme (agen pengendali hayati) dalam bentuk suspensi sebanyak 50 ml dilakukan empat hari sebelum tanam. Jagung varietas Harapan ditanam sebanyak dua tanaman per polibag.
Variabel-variabel yang diamati dalam percobaan ini ialah:

1.      Mekanisme antagonisme antara agen pengendali hayati (cendawan atau bakteri) dengan          Rhizoctonia sp. baik makrokopis maupun mikrokopis.
2.      Persentase penghambatan pertumbuhan Rhizoctonia sp. oleh agen pengendali hayati. Dilakukan pada hari ke enam setelah ditumbuhakan.
3.      Pertumbuhan agen pengendali hayati di tanah gambut. Penghitungan propagul dila-kukan dua hari sekali selama 10 hari.
4.      Masa inkubasi, diamati sejak benih ditanam sampai gejala penyakit muncul.
5.      Gejala serangan Rhizoctonia sp.
6.      Intensitas serangan dihitung dengan rumus:
                     å ( z x n )
        I =  ---------------    x 100%
                      ZN
I   = intensitas serangan
n  = jumlah tanamn dalam nilai
       katergori tertentu
v  = nilai kategori serangan
Z  = nilai kategori serangan tertinggi
N  = jumlah tanaman yang diamati.

Nilai kategori serangan :
0 =  tidak ada serangan pada pelepah daun
1 = 0 – 20% pelepah daun terserang
      Rhizoctonia sp.
2 =  > 20 – 40% pelepah daun terserang
      Rhizoctonia sp.
3 =  > 40 – 60% pelepah daun terserang
      Rhizoctonia sp.
4 = >60% pelepah daun terserang
         Rhizoctonia sp

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A.        Isolasi Agen Pengendali Hayati

            Hasil isolasi mikroorganisme tanah di pertanaman jagung diperoleh 11 isolat dan di lahan gambut diperoleh 7 isolat, sehingga jumlah yang diperoleh 18 isolat. Dari 18 isolat tersebut diperoleh 6 isolat jamur yang mempunyai daya antagonis terhadap Rhizoctonia sp., karena pertumbuhannya cepat sedangkan dua isolat bakteri belum mampu bersaing dengan patogen dan hanya sedikit menghasilkan zat toksik terhadap patogen se-hingga tidak menunjukkan penghambatan per-tumbuhan Rhizoctonia sp. Berdasarkan uji antagonisme  persentase  penghambatan  per-tumbuhan   Rhizoctonia sp. oleh 6 isolat jamur (Tabel 1) diperoleh dua isolat jamur antagonis.

Tabel 1. Persentase penghambatan pertumbuhan Rhizoctonia sp. oleh isolat jamur hari ke enam.

Nomor Isolat  
Agen antagonis          
Persentase  penghambatan (%)          
Keterangan

1
2
3
4
5
6         
Penicillium sp.
Aspergillus sp.
Penicillium sp
Trichoderma koningii
Aspergillus niger
Gliocladium sp           
0
55
0
81
58
81       
Tidak ada penghambatan

Tidak ada penghambatan

Indentifikasi Jamur Antagoni

            Hasil identifikasi jamur antagonis yang memiliki persentase penghambatan terhadap Rhizoctonia sp. lebih dari 60% adalah Tricho- derma koningii (isolat 4)  dan  Gliocladium sp. (isolat 6).
Hasil uji In-vitro

Hasil percobaan pertumbuhan Trichoderma koningii dan Gliocladium sp. pada tanah gambut steril dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Pertambahan konidia T. koningii dan Gliocladium sp.

No.     
Agen pengendali hayati         
Hari ke                       
0         
2         
4         
6         
8         
10

1.
2.        

Trichoderma koningi
Gliocladium sp           

8.105
8.105  
2.106
1.106  
5.107
3.107  
7.108
6.108
9.108
9.108  
26.109
2.109

Uji in-vivo
            Penyakit hawar daun jagung disebabkan oleh cendawan Rhizoctonia sp. pada tahap awal, dipermukaan daun yang terinfeksi terlihat ber-cak berwarna kemerah-merahan kemudian ber-ubah
menjadi abu-abu. Bercak meluas menjadi hawar dan sering terjadi sklerotia. Gejala hawar dimu-lai dari bagian tanaman yang dekat dengan tanah, menjalar ke bagian atas (Sumartini dan Hardaningsih, 1995).
            Penggunaan Trichoderma koningii dan Gliocladium sp. dapat menekan persentase ta-naman sakit dari 66,6% menjadi 25% dan 31,6% (Tabel 3).  Penurunan persentase tanam-an mencapai 41,6% dengan menggunakan Tri-choderma koningii dan 35% oleh Gliocladium sp.  Menurut Bruehl (1987) Trichoderma koningii dan Gliocladium sp. merupakan kompetitor yang kuat di lingkungan tanah masam, dan merupakan jamur antagonis yang sering digunakan dalam pengendalian patogen tular tanah (Sundheim dan Tronsmos,1980). 
Tabel 3. Pengaruh pemberian agen pengendali hayati terhadap masa inkubasi dan persentase tanaman

              sakit.
Agen pengendali hayati         
Masa inkubasi
Persentase tanaman sakit
Tanpa agen pengendali          
10 hari
66,6%
Trichoderma koningii                         
15 hari
25,0%
Gliocladium sp.          
15 hari
31,6%
            Dari hasil isolasi mikrioorganisme diperoleh 7 isolat dari tanah gambut dan 11 isolat dari tanah pertanaman jagung bukan gambut. Hal ini kemungkinan disebabkan tanah gambut yang relatif  lebih masam (pH 3,5 – 4,7), sehingga hanya mikroorganisme tertentu saja yang dapat hidup dalam kisaran pH tersebut. Namun dari hasil uji antagonisme diperoleh 2 isolat jamur yang mampu menekan pertumbuhan Rhizoctonia sp., yaitu Trichoderma koningii dan Gliocladium sp. Bruehl (1987) menjelaskan bahwa Trichoderma sp dan Gliocladium sp merupakan kompetitor yang kuat dilingkungan tanah masam. Hal   ini  ditunjukan  pula dengan peningkatan populasi T. koningii. dan Gliocla-dium sp. yang ditumbuhkan pada tanah gambut steril (Tabel 2).

            Kemampuan T. koningii  dan   Gliocla-dium sp. menekan pertumbuhan Rhizoctonia sp. secara in vitro sebesar 81% ternyata juga mampu menghambat timbulnya gejala penyakit lebih kurang 5 hari dan mampu menekan persentase tanaman sakit masing-masing dari 66,6% menjadi 25% dan 31,6% (tabel 3). Penurunan persentase tanaman mencapai 41,6% dengan menggunakan T. koningii dan 35% dengan menggunakan Gliocladium sp. Jamur T. koningii dan Gliocladium sp., merupakan jamur antagonis yang dapat di gunakan dalam pengendalian patogen tular tanah.

BAB V
PENUTUP

A.        Kesimpulan dan Saran

            Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa diperoleh agen pengendali hayati di tanah gambut yaitu Trichoderma koningii dan Gliocladium sp. yang dapat menurunkan per-sentase serangan masing-masing 41,6% dan 35%.

Perlu di lakukan penelitian penggunaan Trichoderma koningii dan Gliocladium sp. untuk menekan beberapa patogen tular tanah di lahan gambut.

DAFTAR PUSTAKA

Asevedo, I.G., E. Genble, B. Correa, C.R. Paula, R.M.A. Almedia, and V.M.S. Firamil. 1993. Influence of temperature and relative humidity on production of aflatoxin in sampled of stored maize artificially contaminated with Aspergillus flavus (Link). Revista de Microbiologica 24(1):32-37.
            Bachri, S., P. Zahari, and R. Maryan. 1995. Aflatoxin contents in feeds ruffs a prehyminary study. Paper presented in the World Veterinary Congress XXV. Japan. Bachri, S. 2001. Mewaspadai cemaran mikotoksin pada bahan pangan, pakan, dan produk ternak di Indonesia. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 20(2):55-64.
            Baht, R.V. and J.D. Miller. 1991. Mycotoxins and food supply. Food Nutrition and Agriculture 1:27-31. Pakki dan Talanca: Pengelolaan Penyakit Pascapanen Jagung 361 CAB International. 2001. Crop protection compendium. CAB International. Christensen and Meronuck. 1986. Quality maintenance in stored grainds and seeds minneapolis. USA University of Minnesota Press. Diener, U. 1989. Preharvest aflatoxin contamination of peanut, corn, and cotton seed. A review. Biodete Rioraratiun Res. 2:217-244. Ernesto, M.M., V.B. Mario, and F.P. Federico. 2000. Use of propianic acid salt to inhibit aflatoxin production in stored grains of maize. Agrocinecia 34:477-484. Ginting. 1986. Variasi kejadian dan kandungan aflatoksin pada jagung yang bersumber dari Tegal, Taiwan, dan Lampung pada pabrik makanan ternak di Bogor. Penyakit Hewan 18(31)79-81. Gleen, A.E., D.M. Hilton, L.E. Yates, and C.W. Bocon. 2001. Detoxipication of corn antimicrobial cpompound as the basis for isolating Fusarium verticillioidies and some other Fusarium species from corn. The American Soceity for Microbiology 67(7):2873-2981. Guo, B., Z. Russin, J.S., Cleveland, R.L. Brown, and Damanu. 1999. Evidence for cutinase production by Aspergillus flavus and its possible role in infection of corn Kernels Phytopatology 86:824-829. Handoo, M.L. and K.S. Aulakh. 1999. Seeds borne fungi of maize in India
            Seed Research 7(1):41-47 Jonis, R.K., H.E. Duncan, and P.B. Hamilton. 1981. Planting date, harvest date, irrigation effect on infection and aflatoxin production by Aspergillus flavus in the field corn. Phytophatology 71:810-816. Kohler, B. 1960. Comstalk rots in illionis III. Agric. Exp. Stem. Bul. 658. Muis, A., S. Pakki, dan A.H. Talanca. 2002. Inventarisasi dan identifikasi cendawan yang menyerang biji jagung di Sulawesi Selatan. Hasil
            Penelitian Hama dan Penyakit, Balitsereal, Maros. p. 21-30. Munclovd, G.P. and C.M. Biggerstaf. 2000. Stalk roots and ear roots in Bt hybrids, riceville, biolo cult. test control. Plant Disease 12:105. Munclovd, G.P. 2003. Cultural and genetic approaches to managing mycotoxins in maize. Annual Rev. Phytopathol. IOWA. USA. Okky, S.D., S. Haryanto, dan A. Ambarwati. 1993. Assosiasi Fusarium dengan beberapa tanaman yang mempunyai arti ekonomi penting di Jawa Barat dan produksi mikotoksinnya pada biji jagung. Kongres PFI dan Seminar Ilmiah ke XII. Yogyakarta. 362 Jagung: Teknik Produksi dan Pengembangan Oren, L., E. Sinadar, C. David, and A. Sharon. 2003. Early event in the Fusarium verticilliodes maize – interaction characterized by using a green fluorescent protein expressing transgenic isolate. The American Society for Microbiology 69(3):1693-1701. Pakki, S., A.H. Talanca, dan A. Muis. 2003. Inventarisasi cendawan yang menyerang biji jagung di Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Timar. Hasil Penelitian Hama dan Penyakit, Balitsereal, Maros. p. 32-42. Pakki, S. dan A. Muis. 2006. Patogen utama pada tanaman jagung setelah padi rendengan di lahan sawah tadah hujan. Seminar Mingguan Balitsereal, Maros. (Belum diterbitkan).
            Pingali, P.L. 2001. CIMMYT 1999-2000, world maize fact and trends. Meeting world maize needs. technological opportunities and priorities for the public sector. CIMMYT, Mexico. Puslitbangtan. 2006. Pengembangan jagung di lahan bera. Berita Puslitbangtan. Bogor. Robert, L.B., J.C. Peter, E.C. Thomas, and N.W. Widstrom. 1993. Living maize embryo influences accumulation of aflatoxin in maize kernels. Journal of Food Protection 56(11):967-971. Satula, T.L. 1969. Phatogenicity of the causal agent of Penicillium disease of maize seed and seedling. Zakhyst Rast 9:88-91. Shearer, J.F., S. Baker, and N.K. Tittarylh. 1992. A study of Aspergillus flavus and A. parasiticus in Iowa. Crop field 1988-1990. Plant Diseases 76(1)19-22.
            Schutless, F., K.F. Cardwell, and S. Gounou. 2002. The effect of endhophytic Fusarium verticilliodes on investasion of two maize variety by lepidoptera stemborer and coleoptera grain feeders. The American Phytophatologycal Society. Scott, G.E. and Zumono. 1999. Registration of MP 420 germplasma line of maize. Crop Science 32(5):1296. Stack. 2000. Grain mould and mycotoxins in corn. University of Nebraska- Lincol and the United States of Agricultural. 19 p. Stemou, M., K.F. Cardwell, F. Shutless, and K. Hell. 1997. Aspergillus flavus infection and aflatoxin contamination of pre harvest maize in Benin. Plant Disease 81(11):1323-1327.
            Swindale. 1987. A general overview of the problem of aflatoxin contamination of groundnut. Summary and recommendation of the International Workshop on Aflatoxin Contamination of Groundnut. p. 28. Pakki dan Talanca: Pengelolaan Penyakit Pascapanen Jagung 363 Vieira, S.L. 2003. Nutritional implication of mould development in feed stuffs and alternatives to reduce the mycotoxin problem in poultry feeds. Worlds poultry Science Journal 59(111-122). Wakman, W., S. Rahamma, dan S. Kontong. 2003. Penelitian penyakit busuk batang jagung. Hasil Penelitian Hama dan Penyakit. Balitsereal, Maros. p.26-29. Wicklow, D.T, B.W. Horn, W.R Burg, and R.J. Cole. 1984. Schlerotium dispersal of A.flavus and E.ochrosalmoneum from maize during harvest  Transactions of the British Mycological Society 83(2): 299-303. Widyastuty. 1998. Mikotoksin pada pakan babi asal Sumatera Utara.Kumpulan makalah Kongres Nasional PMKI I dan Temu Ilmiah Bogor.p.283-288.

1 komentar: