Makalah Herpes Simpleks
Dan Tinea
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Kulit adalah organ yang sangat penting
untuk mengetahui tingkat kesehatan seseorang. Kecantikan seseorang secara fisik
dapat dilihat dari kesehatan kulitnya. Kulit yang sehat mencerminkan
kebersihan, status gizi, status emosi/psikologis, juga kepribadian seseorang.
Oleh karena itu, kesehatan kulit/integumen perlu mendapat perhatian yang cukup
besar.
Apabila kulit mengalami kelainan atau gangguan
akan membawa dampak baik fisik maupun psikologis pada penderita. Oleh karena
itu, pemberian asuhan keperawatan yang tepat sangat diperlukan. Dalam
makalah ini kami akan memaparkan beberapa contoh kelainan kulit yaitu Herpes
dan Tinea serta bagaimana penatalaksanaan kita sebagai perawat dalam merawat
pasien dengan kelainan kulit tersebut.
B. Tujuan
·
Tujuan Umum
Agar mahasiswa-mahasiswi memahami asuhan
keperawatan pada klien dengan herpes dan tinea.
·
Tujuan Khusus
Agar mahasiswa-mahasiswi mengerti,
mengetahui, dan memahami isi tentang:
û Anatomi fisiologi kulit
û Asuhan keperawatan pada klien
dengan herpes simpleks
û Asuhan keperawatan pada klien
dengan herpes zoster
û Asuhan keperawatan pada klien
dengan tinea
C. Metode
Penulisan
Adapun metode penulisan yang kami gunakan dalam
penyusunan makalah ini yakni melalui studi literature, browsing internet, dan
diskusi kelompok.
D. Sistematika Penulisan
Makalah ini disusun dengan sistematika sebagai
berikut : BAB I PENDAHULUAN meliputi latar belakang, tujuan, metode penulisan
dan sistematika penulisan. BAB II TINJAUAN TEORITIS meliputi Anatomi Fisiologi
Kulit, Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Herpes, Asuhan keperawatan pada
klien dengan Tinea. BAB III PENUTUP meliputi simpulan dan saran.
BAB II
TINJAUAN TEORETIS
A. ANATOMI
FISIOLOGI KULIT
Kulit merupakan pembungkus yang elastik yang
melindungi tubuh dari pengaruh lingkungan. Kulit juga merupakan alat tubuh yang
terberat dan terluas ukurunya, yaitu 15 persen dari berat tubuh dan luasnya
1,50-1,75m². Rata-rata tebal kulit 1-2 mm. Paling tebal (6mm) terdapat di
telapak tangan dan kaki dan yang paling tipis (0,5 mm) terdapat di penis.
Gambar struktur anatomi kulit
Bagian-bagian Kulit Manusia
Kulit terbagi atas tiga lapisan pokok, yaitu
epidermis, dermis atau korium, dan jaringan subkutan atau subkutis.
a) Epidermis
Epidermis terbagi atas empat lapisan.:
1. Lapisan basal atau stratum germinativium.
2. Lapisan malpighi atau stratum spinosum.
3. Lapisan granular atau stratum granulosum.
4. Lapisan tanduk atau stratum korneum.
Epidermis mengandung juga : Kelenjar ekrin,
kelenjar apokrin, kelenjar sebaseus, rambut dan kuku. Kelenjar keringat ada dua
jenis, ekrin dan apokrin. Fungsinya mengatur suhu, menyebabkan panas dilepaskan
dengan cara penguapan. Kelanjar ekrin terdapat disemua daerah kulit, tetapi
tidak terdapat di selaput lendir. Seluruhnya berjumlah antara 2 sampai 5 juta
yang terbanyak ditelapak tangan. Sektretnya cairan jernih kira-kira 99 persen
mengandung klorida,asam laktat,nitrogen dan zat lain.
Kelenjar apokrin adalah kelenjar keringat besar
yang bermuara ke folikel rambut, terdapat di ketiak, daerah anogenital, putting
susu dan areola. Kelenjar sebaseus terdapat diseluruh tubuh, kecuali di tapak
tangan, tapak kaki dan pungung kaki. Terdapat banyak di kulit kepala, muka,
kening, dan dagu. Sekretnya berupa sebum dan mengandung asam lemak, kolestrol
dan zat lain.
b) Dermis
Dermis atau korium merupakan lapisan bawah
epidermis dan diatas jaringan subkutan. Dermis terdiri dari jaringan ikat yang
dilapisan atas terjalin rapat (pars papillaris), sedangkan dibagian bawah
terjalin lebih lebih longgar (pars reticularis). Lapisan pars retucularis
mengandung pembuluh darah, saraf, rambut, kelenjar keringat dan kelenjar
sebaseus.
c) Jaringan
Subkutan (Subkutis atau Hipodermis)
Jaringan subkutan merupakan lapisan yang langsung
dibawah dermis. Batas antara jaringan subkutan dan dermis tidak tegas. Sel-sel
yang tyerbanyak adalah liposit yang menghasilkan banyak lemak. Jaringan
subkutan mengandung saraf, pembuluh darah dan limfe, kandungan rambut dan di
lapisan atas jaringan subkutan terdapat kelenjar keringan. Fungsi dari jaringan
subkutan adalah penyekat panas, bantalan terhadap trauma dan tempat penumpukan
energi.
Fungsi-fungsi Dari Kulit
Kulit mempunyai fungsi bermacam-macam untuk
menyesuaikan tubuh dengan lingkungan. Fungsi kulit adalah sebagai berikut :
a) fungsi proteksi
b) fungsi absorpsi
c) fungsi ekskresi
d) fungsi persepsi
e) fungsi pengaturan suhu tubuh
f) fungsi pembentukan pigmen
Saraf pada Jaringan Kulit
Jika kulit diberi rangsangan listrik maka
elemen-elemen kontraktil akan memendek atau kulit akanberinteraksi. Rangsangan
ini berasal dari pusat kesadaran (otak) dan disalurkan melalui serabut
sarafpengerak menuju serabut-serabut kulit. Seperti diketahui kulit
berkontraksi menurut rangsangan yang datang, bila tidak ada rangsangan unit
pengerak dalam keadaan istirahat (relax) dan otot dalam keadaan lemas (flaccid).
Pengiriman rangsangan dari saraf ke serabut kulit dilakukan melalui sambungan
yang dinamakan junction neuromuscular. Pada akhir ujung saraf ini masih
terletak diluar selaput tipis pembungkus serabut kulit. Dibagian akhir ini
ditemukan butiran-butiran halus yang disebut kuhme atau
gelembung-gelembung asetilkolin. Asetilkolin
merupakan hormon yang dikeluarkan oleh bagian saraf akhir dengan tujuan untuk
merangsang serabut kulit. Karena rangsangan ini membuat permeabilitas sel-sel
kulit berubah sehingga ia dapat meneruskan rangsangan tadi keseluruh bagain
kulit. Akibatnya kulit berkontraksi.
B. ASUHAN
KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN HERPES ZOOSTER DAN HERPES SIMPLEKS
1. HERPES
SIMPLEKS
a. Pengertian
·
Herpes simpleks adalah infeksi akut oleh virus herpes simpleks (virus herpes
hominis) tipe I atau tipe II yang ditandai adanya vesikel berkelompok di atas
kulit yang eritematosa di daerah mukokutan. Herpes simpleks disebut juga fever
blister, cold score, herpes febrilis, herpes labialis, herpes progenitalis.
(Kapita Selekta Kedokteran ed.III, 2000:151)
·
Herpes simpleks adalah infeksi akut yang disebabkan oleh virus herpes simpleks
(virus herpes hominis) tipe I atau tipe II yang ditandai oleh adanya vesikel
yang berkelompok di atas kulit yang sembab dan eritematosa pada daerah dekat
mukokutan, sedangkan infeksi dapat berlangsung baik primer maupun rekurens.
(Adhi DJuanda, Ilmu penyakit kulit dan kelamin,2000:355)
·
Herpes simpleks adalah penyakit yang mengenai kulit dan mukosa, bersifat kronis
dan residif , disebabkan oleh virus herpes simpleks/herpes virus hominis. (FK
Unair, 1993 dalam Loetfia Dwi Rahariyani tahun 2008 : 45)
·
Kesimpulan: herpes simpleks adalah penyakit pada kulit dan mukosa yang
disebabkan oleh virus herpes simpleks tipe I dan II ditandai oleh adanya
vesikel yang berkelompok dan ertitematosa, ditularkan melalui udara dan
sebagian kecil melalui kontak kulit langsung.
b. Etiologi
Berdasarkan struktur antigeniknya dikenal 2
tipe virus herpes simpleks:
·
Virus herpes simpleks tipe I (HSV I). Penyakit kulit/selaput lendir yang
ditimbulkan biasanya disebut herpes simpleks saja, atau dengan
nama lain herpes labialis, herpes febrilis. Biasanya penderita
terinfeksi virus ini pada usia kanak-kanak melalui udara dan sebagian kecil
melalui kontak langsung seperti ciuman, sentuhan atau memakai baju/handuk mandi
bersama. Lesi umumnya dijumpai pada tubuh bagian atas. Termasuk mata dengan
rongga mulut, hidung dan pipi; selain itu, dapat juga dijumpai di daerah
genitalia, yang penularannya lewat koitus orogenital (oral sex).
·
Virus herpes simpleks tipe II (HSV II, “virus of love”). Penyakit
ditularkan melalui hubungan seksual. Tetapi dapat juga terjadi tanpa koitus,
misalnya dapat terjadi pada dokter/dokter gigi dan tenaga medik. Lokalisasi
lesi umumnya adalah bagian tubuh di bawah pusar, terutama daerah genitalia lesi
ekstra-genital dapat pula terjadi akibat hubungan seksual orogenital.
c. Patofisiologi
HSV disebarkan melalui kontak langsung antara
virus dengan mukosa atau setiap kerusakan di kulit. Virus herpes tidak dapat
hidup di luar lingkungan yang lembab dan penyebaran infeksi melalui cara selain
kontak langsung kecil kemungkinannya terjadi. HSV memiliki kemmpuan untuk
menginvasi beragam sel melalui fusi langsung dengan membrane sel. pada infeksi
aktif primer, virus menginvasi sel pejamu dan cepat berkembang dengan
biak, menghancurkan sel pejamu dan melepaskan lebih banyak virion untuk
menginfeksi sel-sel disekitarnya. Pada infeksi aktif primer, virus
menyebar melalui saluran limfe ke kelenjar limfe regional dan menyebabkan
limfadenopati. Tubuh melakukan respon imun seluler dan humoral yang
menahan infeksi tetapi tidak dapat mencegah kekambuhan infeksi aktif.
Setelah in feksi awal timbul fase laten. Selama masa ini virus masuk ke dalam
sel-sel sensorik yang mempersarafi daerah yang terinfeksi dan
bermigrasi disepanjang akson untuk bersembunyi di dalam ganglion
radiksdorsalis tempat virus berdiam tanpa menimbulkan sitotoksisitas atau
gejala pada manusia.
d. Tingkatan
infeksi
1. Infeksi
primer
Tempat predileksi VHS tipe I di daerah
pinggang ke atas terutama di daerah mulut dan hidung, biasanya dimulai pada
usia anak-anak. Inokulasi dapat terjadi secara kebetulan, misalnya kontak kulit
pada perawat, dokter gigi, atau pada orang yang sering menggigiti jari (herpetic
Whit-low). Virus ini juga sebagai penyebab herpes enfalitis. Infeksi primer
oleh VHS tipe II mempunyai tempat predileksi di daerah genital, juga
dapat menyebabkan herpes meningitis dan infeksi neonatus.
Daerah predileksi ini sering kacau karena
adanya cara hubungan seksual seperti oro-genital, sehingga herpes yang terdapat
di daerah genital kadang-kadang disebabkan oleh VHS tipe I sedangkan di daerah
mulut dan rongga mulut dapat disebabkan oleh VHS tipe II.
Infeksi primer berlangsung lebih lama dan lebih
berat, kira-kira 2-6 minggu dan sering disertai gejala sistemik, misalnya
demam, malese dan anoreksia, dan dapat ditemukan pembengkakan kelenjar getah
bening regional hingga terjadi penyembuhan secara spontan.
Kelainan klinis yang dijumpai berupa rasa sakit
serta vesikel yang berkelompok di atas kulit yang sembab dan eritematosa,
berisi cairan jernih dan kemudian menjadi seropurulen, dapat menjadi kusta dan
kadang-kadang menagalami ulserasi yang dangkal, biasanya sembuh tanpa
sikatriks. Pada perabaan tidak terdapat indurasi. Kadang-kadang dapat timbul
infeksi sekunder sehingga memberi gambaran yang tidak jelas. Umumnya didapati
pada orang yang kekurangan antibodi virus herpes simpleks. Pada wanita ada
laporan yang mengatakan bahwa 80% infeksi VHS pada genitalia eksterna disertai
infeksi pada serviks.
2. Fase laten
Fase ini berarti pada penderita tidak ditemukan
gejala klinis, tetapi VHS dapat ditemukan dalam keadaan tidak aktif pada
ganglion dorsalis. Penularan dapat tejadi pada fase ini, akibat pelepasan virus
terus berlangsung meskipun dalam jumlah sedikit.
3. Infeksi
rekurens (infeksi kambuhan)
Bila penderita sebelumnya telah pernah
berkontak dengan virus ini sebagai infeksi primer, kebanyakan penderita akan
mengalami infeksi kambuhan (rekurens). Infeksi ini berarti VHS pada ganglion
dorsalis yang dalam keadaaan tidak aktif, dengan mekanisme pacu menjadi aktif
dan mencapai kulit sehingga menimbulkan gejala klinis. Mekanisme pacu itu dapat
berupa trauma fisik (demam, infeksi, kurang tidur, hubungan seksual, dll),
trauma psikis (gangguan emosional, menstruasi), dan dapat pula timbul akibat
jenis makanan yang merangsang (pedas, daging kambing) dan minuman yang
merangsang (alkohol).
Lesi pada infeksi kambuhan ini biasanya lebih
kecil dan lebih sedikit, tidak begitu terasa sakit. Gejala klinis yang timbul
lebih ringan dari pada infeksi primer dan berlangsung kira-kira 7-10 hari.
Sering ditemukan gejala prodromal lokal sebelum timbul vesikel berupa rasa
panas, gatal, dan nyeri. Infeksi rekurens ini dapat timbul pada tempat yang
sama (loco) atau tempat lain/tempat di sekitarnya (non loco).
Penderita yang mengabaikan penyakitnya dapat
mengalami infeksi sekunder oleh kuman-kuman lain, sehingga gambaran klinisnya
berubah menjadi luka yang kotor, berbau, dan disertai pembesaran getah bening
regional. Infeksi sekunder dapat pula disertai oleh gejala sistemik, seperti
demam, sakit kepala, badan lemas, dan muntah-muntah.
e. Manifestasi
Klinis
1. Inokulasi
kompleks primer (primary inoculation complex). Infeksi primer herpes
simpleks pada penderita usia muda yang baru pertama kali terinfeksi virus ini
dapat menyebabkan reaksi lokal dan sistemik yang hebat. Manifestasinya dapat
berupa herpes labialis. Dalam waktu 24 jam saja, penderita sudah mengalami
panas tinggi (39-40oC), disusul oleh pembesaran kelenjar limfe
submentalis, pembengkakan bibir, dan lekositosis di atas 12.000/mm3,
yang 75-80%nya berupa sel polimorfonuklear. Terakhir, bentuk ini diikuti rasa
sakit pada tenggorokan. Insidens tertinggi terjadi pada usia antara 1-5 tahun.
Waktu inkubasinya 3-10 hari. Kelainan akan sembuh spontan setelah 2-6 minggu.
2. Herpes
gingivostomatitis. Kebanyakan bentuk ini terjadi pada anak-anak dan orang
dewasa muda. Manifestasi klinis berupa panas tinggi, limfadenopati regional dan
malaise. Lesi berupa vesikel yang memecah dan terlihat sebagai bercak putih
atau ulkus. Kelainan ini dapat meluas ke mukosa bukal, lidah, dan tonsil,
sehingga mengakibatkan rasa sakit, bau nafas yang busuk, dan penurunan nafsu
makan. Pada anak-anak dapat terjadi dehidrasi dan asidosis. Kelainan ini
berlangsung antara 2-4 minggu.
3. Infeksi
herpes simpleks diseminata. Bentuk herpes ini terjadi pada anak-anak usia 6
bulan sampai 3 tahun, dimulai dengan herpes gingivostomatitis berat. Jenis ini
dapat mengenai paru-paru dan menimbulkan viremia masif, yang berakibat
gastroenteritis disfungsi ginjal dan kelenjar adrenal, serta ensefalitis.
Kematian banyak terjadi pada stadium viremia yang berat.
4. Herpes
genitalis (progenitalis). Infeksi primer terjadi setelah melalui masa tunas
3-5 hari. Penularan dapat melalui hubungan seksual secara genito-genital,
orogenital, maupun anogenital. Erupsinya juga berupa vesikel tunggal atau
menggerombol, bilateral, pada dasar kulit yang eritematus, kemudian
berkonfluensi, memecah, membentuk erosi atau ulkus yang dangkal disertai rasa
nyeri. 31% penderita mengalami gejala konstitusi berupa demam, malaise,
mialgia, dan sakit kepala; dan 50% mengalami limfadenopati inguinal.
f. Insiden
Karena HSV tidak dapat disembuhkan maka
persentasi orang yang terinfeksi meningkat seiring dengan usia. Sekitar 1
dari 4 perempuan dan 1 dari 5 laki-laki terinfeksi oleh
virus herpes genitalis. Kerentanan terhadap infeksi herpes bervariasi. HSV lebih
sering dijumpai pada perempuan daripada laki-laki, mungkin karena luas
permukaan mukosa saluran genetalia perempuan yang lebih besar dan terjadinya
kerusakan mikro di mukosa selam hubungan kelamin.
Dibandingkan dengan populasi umum, orang yang terinfeksi oleh HIV lebih rentan
terhadap infeksi HSV dan lebih menular ke orang lain
setelah terjangkit virus ini. Orang yang seropositif HSV-1 sedikit
banyak tampaknya terproteksi dari infeksi HSV-2. Karena infeksi HSV tidak mengancan
nyawa dan sering ringan atau asimtomatik, maka banyak orang yang tidak
menyadari besarnya penyakit ini.
g. Komplikasi
- Infeksi bakteri sekunder
- Eritema multiforme portherpetika
h. Tes Diagnostik
- Eritema multiforme portherpetika
h. Tes Diagnostik
·
Pada sebagian besar kasus, herpes genetalis dapat didiagnosis secara
klinis saat infeksi akut atau rekuren. Sebelum ditemukannya uji
amplifikasi DNA, biakan virus terhadap vesikel atau pustule
merupakan baku emas untuk diagnosis. Biakan yang diambil dari lesi yang
sudah berkrusta dan infeksi rekuren kurang sensitive, dan sering
menyebabkan hasil uji negatif. Tersedia uji deteksi antigen dengan EIA
atau uji fluoresensi langsung yang cepat dan murah. Herpes
genetalis dilaporkan menyebabkan kelainan pada asupan papanicolaou ( pap smear
), walaupun tidak bersifat diagnostic. Karena tingginya frekuensi infeksi yang
asimtomatik dan non tipikal maka dianjurkan pemeriksaan penyaring
terhadap kelompok beresiko tinggi.
·
Pada percobaan Tzanck dengan perwarnaan Giemsa dari bahan vesikel dapat
ditemukan sel datia berinti banyak dan badan inklusi intranuklear.
i. Penatalaksanaan
medis
Karena infeksi HSV tidak dapat disembuhkan,
maka terapi ditujukan untuk mengendalikan gejala dan menurunkan pengeluaran
virus. Obat antivirus analog nukleosida merupakan terapi yang
dianjurkan. Obat-obatan ini bekerja dengan menyebabkan deaktivasi atau
mengantagonisasi DNA polymerase HSV yang pada gilirannya menghentikan
sintesis DNA dan replikasi virus. Tiga obat antivirus yang dianjurkan oleh
petunjuk CDC 1998 adalak asiklovir, famsiklovir, dan valasiklovir. Obat
antivirus harus dimulai sejak awal tanda kekambuhan untuk mengurangi dan
mempersingkat gejala. Apabila obat tertunda sampai lesi kulit muncul, maka
gejala hanya memendek 1 hari. Pasien yang mengalami kekambuhan 6 kali atau
lebih setahun sebaiknya ditawari terapi supresif setiap hari yang dapat
mengurangi frekuensi kekambuhan sebesar 75%.
Terapi topical dengan krim atau salep
antivirus tidak terbukti efektif. Terapi supresif atau profilaksis dianjurkan
untuk mengurangi resiko infeksi perinatal dan keharusan melakukan seksio
sesarea pada wanita yang positif HSV. Vaksin untuk mencegah infeksi
HSV-2 sekarang sedang diteliti.
j. Konsep
Proses Keperawatan
Pengkajian
a) Biodata.
Dapat terjadi pada semua orang di semua umur;
sering terjadi pada remaja dan dewasa muda. Jenis kelamin; dapat terjadi pada
pria dan wanita. Pekerjaan; beresiko tinggi pada penjaja seks komersial.
b) Keluhan utama
Gejala yang sering menyebabkan penderita datang
ketempat palayanan kesehatan adalah nyeri pada lesi yang timbul.
c) Riwayat
penyakit sekarang
Kembangkan pola PQRST pada setiap keluhan
klien. pada beberapa kasus, timbul lesi/vesikel perkelompok pada penderita yang
mengalami demam atau penyakit yang disertai peningkatan suhu tubuh atau pada
penderita yang mengalami trauma fisik maupun psikis. Penderita merasakan nyeri
yang hebat, terutama pada area kulit yang mengalami peradangan berat dan
vesikulasi yang hebat.
d) Riwayat
penyakit dahulu
Sering diderita kembali oleh klien yang pernah
mengalami penyakit herpes simplek atau memiliki riwayat penyakit seperti ini.
e) Riwayat
penyakit kelarga
Ada anggota keluarga atau teman dekat yang
terinfeksi virus ini.
f)
Kebutuhan psikososial
Klien dengan penyakit kulit, terutama yang
lesinya berada pada bagian muka atau yang dapat dilihat oleh orang, biasanya
mengalami gangguan konsep diri.hal itu meliputi perubahan citra tubuh, ideal
diri tubuh, ideal diri, harga diri, penampilan peran, atau identitas diri.
Reaksi yang mungkin timbul adalah:
1. Menolak untuk
menyentuh atau melihat salah satu bagian tubuh.
2. Menarik diri
dari kontak social.
3. Kemampuan
untuk mengurus diri berkurang.
g) Kebiasaan
sehari-hari.
Dengan adanya nyeri, kebiasaan sehari-hari
klien juga dapat mengalami gangguan, terutama untuk istirahat/tidur dan
aktivitas. Terjadi gangguan BAB dan BAK pada herpes simpleks genitalis.
Penyakit ini sering diderita oleh klien yang mempunyai kebiasaan menggunakan
alat-alat pribadi secara bersama-sama atau klien yang mempunyai kebiasaan
melakukan hubungan seksual dengan berganti-ganti pasangan.
h) Pemeriksaan
fisik
Keadaan umum klien bergantung pada luas, lokasi
timbulnya lesi, dan daya tahan tubuh klien. pada kondisi awal/saat proses
peradangan , dapat terjadi peningkatan suhu tubuh atau demam dan perubahan
tanda-tanda vital yang lain. Pada pengkajian kulit, ditemukan adanya
vesikel-vesikel berkelompok yang nyeri ,edema di sekitar lesi, dan dapat pula
timbul ulkus pada infeksi sekunder. Perhatikan mukosa mulut, hidung, dan
penglihatan klien. pada pemeriksaan genitalia pria, daerah yang perlu
diperhatikan adalah bagian glans penis, batang penis, uretra, dan daerah anus.
Sedangkan pada wanita, daerah yang perlu diperhatikan adalah labia mayor dan
minor, klitoris, introitus vagina, dan serviks. Jika timbul lesi, catat jenis,
bentuk, ukuran / luas, warna, dan keadaan lesi. Palpasi kelenjar limfe
regional, periksa adanya pembesaran; pada beberapa kasus dapat terjadi
pembesaran kelenjar limfe regional.
Untuk mengetahui adanya nyeri, kita dapat
mengkaji respon individu terhadap nyeri akut secara fisiologis atau melalui
respon perilaku. Secara fisiologis,terjadi diaphoresis, peningkatan denyut
jantung, peningkatan pernapasan, dan peningkatan tekanan darah; pada perilaku,
dapat juga dijumpai menangis, merintih, atau marah. Lakukan pengukuran nyeri
dengan menggunakan skala nyeri 0-10 untuk orang dewasa. Untuk anak-anak, pilih
skala yang sesuai dengan usia perkembangannya kita bisa menggunakan skala wajah
untuk mengkaji nyeri sesuai usia; libatkan anak dalam pemilihan.
Diagnosa keperawatan
1. Nyeri akut b.d
inflamasi jaringan
2. Gangguan citra
tubuh b.d perubahan penampilan, sekunder akibat penyakit herpes simpleks
3. Risiko penularan
infeksi b.d pemajanan melalui kontak (kontak langsung, tidak langsung , kontak
droplet)
Intervensi keperawatan
1. Nyeri akut b.d
inflamasi jaringan
Hasil yang diharapkan:
Ø Klien mengungkapkan nyeri hilang
/ berkurang
Ø Menunjukkan mekanisme koping
spesifik untuk nyeri dan metode untuk mengontrol nyeri secara benar.
Ø Klien menyampaikan bahwa orang
lain memvalidasi adanya nyeri.
rencana keperawatan:
ü Kaji kembali factor yang
menurunkan toleransi nyeri.
ü Kurangi atau hilangkan factor yang
meningkatkan pengalaman nyeri.
ü Sampaikan pada klien penerimaan
perawat tentang responsnya terhadap nyeri ; akui adanya nyeri , dengarkan dan
perhatikan klien saat mengungkapkan nyerinya bertujuan untuk lebih memahaminya.
ü Kaji adanya kesalahan konsep pada
keluarga tentang nyeri atau tindakannya.
ü Beri informasi atau penjelasan
pada klien dan keluarga tentang penyebab rasa nyeri.
ü Diskusikan dengan klien tentang
penggunaan terapi distraksi, relaksasi, imajinasi , dan ajarkan tehnik / metode
yang dipilih.
ü Jaga kebersihan dan kenyamanan
lingkungan sekitar klien
ü Kolaborasikan dengan tim medis
untuk pemberian analgesik
ü Pantau TTV
ü Kaji kembali respons klien
terhadap tindakan penurunan rasa nyeri.
2. Gangguan citra
tubuh b.d perubahan penampilan, sekunder akibat penyakit herpes simpleks
Hasil yang diharapkan:
Ø Klien mengatakan dan menunjukkan
penerimaan atas penampilannya.
Ø Menunjukkan keinginan dan
kemampuan untuk melakukan perawatan diri.
Ø Melakukan pola-pola penanggulangan
yang baru.
Rencana keperawatan:
ü Ciptakan hubungan saling percaya
antara klien-perawat.
ü Dorong klien untuk menyatakan
perasaannya , terutama tentang cara ia merasakan , berpikir, atau memandang
dirinya.
ü Jernihkan kesalahan konsepsi individu
tentang dirinya, penatalaksanaan, atau perawatan dirinya.
ü Hindari mengkritik.
ü Jaga privasi dan lingkungan
individu.
ü Berikan informasi yang dapat
dipercaya dan penjelas informasi yang telah diberikan.
ü Tingkatkan interaksi social.
o Dorong klien untuk
melakukan aktivitas.
o Hindari sikap terlalu
melindungi , tetapi terbatas pada permintaan individu.
ü Dorong klien dan keluarga untuk
menerima keadaan.
ü Beri kesempatan klien untuk
berbagi pengalaman dengan orang lain.
ü Lakukan diskusi tentang
pentingnya mengkomunikasikan penilaian klien dan pentingnya system daya
dukungan bagi mereka.
ü Dorong klien untuk berbagi rasa,
masalah, kekuatiran, dan persepsinya.
3. Risiko
penularan infeksi b.d pemajanan melalui kontak (kontak langsung, tidak langsung
, kontak droplet)
Hasil yang diharapkan:
Ø Klien menyebutkan perlunya
isolasi sampai ia tidak lagi menularkan infeksi.
Ø Klien dapat menjelaskan cara
penularan penyakit.
Rencana keperawatan:
ü Jelaskan tentang penyakit herpes
simpleks, penyebab, cara penularan, dan akibat yang ditimbulkan.
ü Anjurkan klien untuk menghentikan
kagiatan hubungan seksual selama sakit dan jika perlu menggunakan kondom.
ü Beri penjelasan tentang
pentingnya melakukan kegiatan seksual dengan satu orang ( satu sama lain setia
) dan pasangan yang tidak terinfeksi ( hubungan seks yang sehat ).
ü Lakukan tindakan pencegahan
sesuai:
o Cuci tangan sebelum dan
setelah ke semua klien atau kontak dengan specimen.
o Gunakan sarung tangan
setiap kali melakukan kontak langsung dengan klien
o Anjurkan klien dan keluarga
untuk memisahkan alat-alat mandi klien , dan tidak menggunakannya bersama.
o Kurangi transfer pathogen
dengan cara mengisolasi klien selama sakit ( Karena penyakit ini disebabkan oleh
virus yang dapat menular melalui udara ).
2. HERPES
ZOSTER (SHINGLES)
a. Pengertian
·
Herpes Zoster adalah penyakit yang diserang oleh infeksi Virus Varicella-zoster
yang menyerang kulit dan mukosa, infeksi ini merupakan reaktivitas
virus yang terjadi setelah infeksi primer.(Adhi Djuanda, Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin, 2000 : 107)
·
Herpes zoster adalah radang kulit akut dan setempat, terutama terjadi pada
orang tua, ditandai adanya nyeri radikuler unilateral serta adanya erupsi
vesikuler yang terbatas pada dermatom yang diinervasi oleh serabut saraf spinal
maupun ganglion serabut saraf sensoris dari nervus cranialis. (Marwali Harahap,
Ilmu Penyakit Kulit, 2000: 92)
·
Herpes zoster (dampa, cacar ular) adalah penyakit yang disebabkan infeksi virus
varisela zoster yang menyerang kulit dan mukosa. Infeksi ini merupakan
reaktivasi virus yang terjadi setelah infeksi primer. (Kapita Selekta
Kedokteran ed.III,2000 :128)
·
Kesimpulan: herpes zoster adalah penyakit kulit dan mukosa yang disebabkan oleh
infeksi virus varisela zoster ,ditandai adanya nyeri radikuler unilateral serta
adanya erupsi vesikuler yang terbatas pada dermatom yang diinervasi oleh
serabut saraf spinal maupun ganglion serabut saraf sensoris dari nervus
cranialis.
b. Etiologi
Reaktivasi virus varisela zoster
c. Patofisiologi
Penyebab herpes zoster adalah virus varisela
zoster. Virus ini masuk ke dalam tubuh melalui lesi pada kulit , mukosa
saluran napas atas, dan orofaring. Vius ini berkembang biak serta menyebar ke
berbagai organ , terutama ke kulit dan lapisan mukosa, selanjutnya masuk ke
ujung saraf sensoris, dan menuju ganglion saraf tepi dan kornu posterior. Saat
virus masuk pertama kali ke tubuh disebut infeksi primer, yang kemudian
menimbulkan vesikel.
Setelah infeksi primer tersebut selesai, virus
tidak hilang tuntas dari tubuh melainkan menetap pada bagian ganglion serta
bersembunyi di sana beberapa tahun. Pertahanan dan kekebalan tubuh yang menurun
dapat menjadi factor utama penyebab virus ini aktif kembali.
Saraf yang sering terkena adalah daerah
torakalis , kemudian daerah-daerah cranial, lumbal,servikal, dan sacral. Masa
inkubasinya 2-3 hari setelah kontak dengan varisela. Bila tidak diketahui
adanya kontak, kasus tersebut merupakan kasus laten.
Factor-faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya
herpes zoster adalah:
1. Penurunan
imunitas tubuh
2. Pemakaian
kortikosteroid.
3. Radio terapi
4. Obat-obat
immunosupresif
5. Stress emosi
d. Manifestasi Klinis
Keluhan utama penyakit ini adalah rasa sakit,
nyeri, dan pegal (neuritis) serta adanya vesikel yang berkelompok sepanjang
satu dermatom. Perjalanan dan gejala penyakit ini mulai dari ringan, sampai
dengan berat. Adapun stadium dari penyakit herpes zoster:
1. Stadium
prodormal (gejala awal)
Dapat berifat sistemik dan local. Gejala local
berupa rasa gatal/nyeri pada dermatom ynang terserang disertai dengan rasa
panas /terbakar. Gejala sistemik berupa demam, malaise, dan nyeri kepala.
2. Stadium
erupsi
Mula-mula timbul papula atau plakat berbentuk
urtika. Setelah 1-2 hari, akan timbul gerombolan vesikel / bintil-bintil berair
yang tersusun berkelompok diatas kulit yang eritematosa , sedangkan
kondisi kulit di antara gerombolan lain tidak sama. Lokalisasi lesi sesuai
dengan dermatom yang dipersarafi oleh satu atau lebih saraf yeng terkena. Semua
saraf dapat terkena , yang tersering adalah saraf torakal, lumbal/ cranial.
Stadium ini biasanya berlangsung selama 2 minggu dengan gejala utama berupa
rasa nyeri. Rasa nyeri yang dirasa bersifat konstan atau intermiten , diikuti
dengan rasa terbakar pada bagian visceral.
3. Stadium
krustasi:
Vesikula menjadi purulen , mengalami krustasi ,
dan lepas dalam waktu 1-2 minggu. Sering terjadi neuralgia pasca herpetika,
terutama pada orang tua, yang dapat berlangsung beberapa bulan sampai beberapa
tahun. Selain itu, ada pula gejala parestesia yang bersifat sementara.
e. Insiden
Insiden penyakit herpes zoster ini tersebar
merata di seluruh dunia dan tidak ada perbedaan angka kesakitan antara
laki-laki dan perempuan. Angka kesakitan meningkat seiring peningkatan usia.
Diperkirakan kurang lebih terdapat 1,3 – 5 penderita per 1000 orang / tahun.
Lebih dari 2/3 penderita berusia >50 tahun dan kurang dari 10% di bawah 20
tahun.
f. Komplikasi
1. Infeksi
sekunder
2. Neuralgia
pasca herpetika adalah rasa nyeri yang timbul pada daerah berkas penyembuhan
lebih dari sebulan setelah penyakit sembuh. Nyeri ini dapat berlangsung sampai
beberapa bulan bahkan beberapa tahun dengan gradasi nyeri yang bervariasi dalam
kehdupan sehari-hari. Kecenderungan ini dijumpai pada orang yang terkena herpes
zoster di atas usia 40 tahun.
3. keratitis
akut, skleritis, uveitis, glaucoma sekunder, ptosis, korioretinitis,
neuritis optika dan paresis otot penggerak bola mata.
4. berupa
komplikasi dari herpes zoster oftalmikus.
5. Herpes zoster
generalisata, bentuk klinis yang berat dengan gejala umum yang berat dan lesi
timbul tersebar merata ke seluruh tubuh.
6. Alopesia
arkata
7. Sindrom Ramsay
Hunt. Gangguan pada saraf fasialis dan sarah optikus menimbulka gejala lumpuh
pada otot wajah (paralisis Bell), telinga berdenging, sakit kepala seperti
berputar, gangguan pendengaran dan mual.
8. Gangren
superfisialis, menunjukan Herpes zoster yang berat, mengakibatkan
hambatan penyembuhan dan pembentukan jaringan parut.
g. Tes
Diagnostik
·
Sitologi (64% tzanck smear positif); adanya sel raksasa yang
multilokuler dan sel-sel okantolitik.
·
Kultur dari cairan vesikel dan tes antibody : digunakan untuk membedakan
diagnosis herpes virus
·
Immunofluororescent : mengidentifikasi varicella di sel kulit
·
Pemeriksaan histopatologik
·
Pemerikasaan mikroskop electron
·
Kultur virus
·
Identifikasi anti gen / asam nukleat VVZ
·
Deteksi antibody terhadap infeksi virus
h. Penatalaksanaan
medis
Terapi sistemik
Terapi pada kasus herpes zoster bergantung pada
tingkat keparahannya. Terapi sistemik umumnya bersifat simtomatik , untuk
nyerinya diberikan analgesic. Jika disertai infeksi sekunder , diberikan
antibiotic asiklovir . Herpes zoster sangat cocok dengan obat asiklovir
yang diminum. Dengan cepat , obat akan menghentikan munculnya lepuhan kecil ,
memperkecil ukurannya, mengurangi rasa gatal , dan membunuh virus yang ada pada
cairan lepuhan. Sebaliknya diberikan dalam 24-27 jam setelah terbentuknya
lepuhan. Makin cepat diberikan, makin cepat khasiatnya. Obat itu harus diberikan
dalam pengawasan dokter. Obat oles bisa menolong kalau rasa nyeri
yang timbul ringan atau jika keluar cairan.
Terapi topikal
· Pada stadium
vesicular diberi bedak salicyl 2% atau bedak kocok kalamin untuk mencegah
vesikel pecah
· Bila vesikel
pecah dan basah, diberikan kompres terbuka dengan larutan antiseptik atau
kompres dingin dengan larutan burrow 3 x sehari selama 20 menit
· Apabila lesi
berkrusta dan agak basah dapat diberikan salep antibiotik (basitrasin /
polysporin ) untuk mencegah infeksi sekunder selama 3 x sehari.
i. Konsep
Proses Keperawatan
1. Pengkajian
a) Biodata. Cantumkan
semua identitas klien : umur ( penyakit ini sering terjadi pada anak usia atau
kelompok dewasa ), jenis kelamin ( tidak ada perbedaan angka kejadian antara
laki-laki dan perempuan).
b) Keluhan
utama. Alasan yang sering membawa klien penderita herpes datang berobat ke
rumah sakit atau tempat pelayanan kesehatan lain adalah nyeri pada daerah
terdapatnya vesikel berkelompok.
c) Riwayat
penyakit sekarang. Biasanya, klien mengeluh sudah beberapa hari demam dan
timbul rasa gatal/nyeri pada dermatom yang terserang, klien juga mengeluh nyeri
kepala dan terasa lelah. Pada daerah yang terserang , mula-mula timbul papula
atau plakat berbentuk urtika, setelah 1-2 hari timbul gerombolan vesikula.
d) Riwayat
penyakit keluarga. Biasanya, keluarga atau teman dekat ada yang menderita
herpes zoster, atau klien pernah kontak dengan penderita varisela atau herpes
zoster.
e) Riwayat
psikososial. Perlu dikaji bagaimana konsep diri klien terutama tentang
gambaran / citra diri dan harga diri. Sering kali kita jumpai gangguan konsep
diri pada klien. hal ini karena herpes zoster merupakan penyakit yang merusak
kulit dan mukosa , terutama pada kasus herpes zoster berat. Di samping itu,
perlu dikaji tingkat kecemasan klien dan informasi/pengetahuan yang dimiliki
tentang penyakit ini.
f) Kebutuhan
sehari-hari. Dengan adanya rasa nyeri, klien akan mengalami gangguan
tidur/istirahat dan juga aktivitas. Perlu dikaji juga tentang kebersihan
diri klien dan cara perawatan diri, apakah alat-alat mandi/pakaian bercampur
dengan orang lain. Seharusnya , alat mandi / handuk dan pakaian tidak bercampur
dengan orang lain.
g) Pemeriksaan
fisik. Pada klien dengan herpes zoster jarang ditemukan gangguan kesadaran.
Kecuali jika terjadi komplikasi infeksi lain. Tingkatan nyeri yang dirasakan
oleh klien bersifat individual sehingga perlu dilakukan pemeriksaan tingkat
nyeri dengan menggunakan skala nyeri. Apabila nyeri terasa hebat, tanda-tanda
vital cenderung akan meningkat. Pada inspeksi kulit ditemukan adanya veiskel
berkelompok sesuai dengan alur dermatom (ini tanda yang khas pada herpes zoster
karena virus ini berdiam di ganglion posterior susunan saraf tepi dan ganglion
kranialis). Vesikel ini berisi cairan jernih yang kemudian menjadi keruh
(berwarna abu-abu), dapat menjadi pustula dan krusta. Kadang ditemukan vesikel
berisi nanah dan darah yang disebut herpes zoster hemoragik. Apabila yang terserang
adalah ganglion kranialis, dapat ditemukan adanya kelainan motorik. Hiperestesi
pada daerah yang terkena member gejala yang khas , misalnya kelainan pada wajah
karena gangguan pada nervus trigeminus, nervus fasialis, dan oligus.
2. Diagnosa keperawatan
a) Kerusakan
integritas kulit b.d lesi dan respons peradangan
b) Perubahan
kenyamanan b.d erupsi dermal dan pruritus.
c) Cemas s.d
adanya lesi pada wajah
d) Potensial
terjadi penyebaran penyakit s.d infeksi virus
3. Intervensi
keperawatan
a) Kerusakan
integritas kulit b.d lesi dan respons peradangan
Hasil yang diharapkan:
·
Lesi mulai pulih, integritas jaringan kembali, dan area bebas dari infeksi
lanjut.
·
Kulit kulit bersih dan area sekitar bebas dari edema.
Rencana tindakan:
1. Kaji kembali tentang
lesi, bentuk, ukuran , jenis, dan distribusi lesi
2. Anjurkan klien untuk
banyak istirahat.
3. Pertahankan integritas
jaringan kulit dengan jalan mempertahankan kebersihan dan kekeringan kulit.
4. Laksanakan perawatan
kulit setiap hari. Untuk mencegah pecahnya vesikel sehingga tidak terjadi
infeksi sekunder , diberikan bedak salisil 2%. Bila erosif dapat diberikan
kompres terbuka.
5. Pertahankan kebersihan
dan kenyamanan tempat tidur.
6. Jika terjadi ulserasi,
kolaborasikan dengan tim medis untuk pemberian salep antibiotic.
b) Perubahan
kenyamanan b.d erupsi dermal, nyeri, dan pruritus.
Hasil yang diharapkan :
1. Kllien
mengatakan nyeri dan ketidaknyamanan berkurang dalam batas yang dapat
ditoleransi.
2. Menampakkan
ketenangan, ekspresi muka rileks.
3. Kebutuhan
istirahat tidur / istirahat
Rencana tindakan :
1. Kaji lebih
lanjut intensitas nyeri dengan menggunakan skala/peringkat nyeri.
2. Jelaskan
penyebab nyeri dan pruritus.
3. Bantu dan
ajarkan penanganan terhadap nyeri, penggunaan tekhnik imajinasi, tekhnik
relaksasi dan lainnya.
4. Tingkatan
aktivitas distraksi.
5. Jaga kebersihan
dan kenyamanan lingkungan sekitar klien.
6. Kolaborasikan
dengan dokter untuk pemberian terapi:
Ø Analgesik untuk pereda/penawar rasa
sakit
Ø Larutan kalamin untuk mengurangi rasa
gatal.
Ø Steroid untuk mengurangi serangan
neuralgia.
c) Cemas s.d
adanya lesi pada wajah
Hasil yang diharapkan:
ü Pasien merasa yakin penyakitnya akan
sembuh sempurna
ü Lesi tidak ada infeksi sekunder
Rencana keperawatan:
·
Kaji tingkat kecemasan klien
·
Jalaskan tentang penyakitnya dan prosedur perawatan
·
Tingkatkan hubungan teraupeutik
·
Libatkan keluarga untuk member dukungan
d) Potensial
terjadi penyebaran penyakit s.d infeksi virus
Hasil yang diharapkan:
Ø Setelah perawatan tidak terjadi
penyebaran penyakit
Rencana keperawatan:
·
Isolasikan klien
·
Gunakan teknik aseptic dalam perawatannya
·
Batasi pengunjung dan minimalkan kontak langsung
·
Jelaskan pada klien/keluarga proses penularannya
C. ASUHAN
KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN TINEA (DERMATOFITOSIS)
1. Pengertian
·
Dermatofitosis adalah adalah penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk,
misalnya stratum korneum pada epidermis, rambut, dan kuku, yang disebabkan
golongan jamur dermatofita.(Adhi Djuanda, Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin,
2000:90)
·
Dermatofitosis adalah penyakit jamur pada jaringan yang mengandung zat tanduk,
seperti kuku, rambut, dan stratum korneum pada epidermis, yang disebabkan oleh
golongan jamur dermatofita.(Marwali Harahap, ilmu penyakit kulit,
2000:75)
·
Dermatositosis adalah Infeksi fungus superficial pada kulit yang disebabkan
oleh spesies dermatofilia Micosporum, Epidermophyton, atau Trycophyton. (
Hartanto, Herawati, Kamus Saku Mosby. 2009 : 544)
·
Kesimpulan : Dermatofitosis adalah penyakit jamur pada jaringan yang mengandung
zat tanduk, disebabkan oleh spesies dermatofilia Micosporum, Epidermophyton,
atau Trycophyton.
2. Etiologi
Jamur golongan :
·
Microsporum
·
Trichophyton
·
Epidermophyton
3. klasifikasi
berdasarkan lokasi
v Tinea Kapitis
a. Definisi
Tinea Kapitis adalah kelainan kulit pada daerah
kepala berambut yang disebabkan oleh jamur golongan dermatofita.
Tinea Kapitis adalah .kelainan pada kulit dan
rambut kepala, alis, dan bulu mata.
b. Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh spesies
dermatofita dari genera : Trichophyton dan Microsporum, misalnya T.violaceum,
T.gourvilii, T.mentagrophytes, T.tonsurans, M.audonii, M.canis, M.ferrugineum.
c. Manifestasi
Klinis
1. “Grey pacth
ringworm”
Merupakan tinea kapitis yang biasanya
disebabkan oleh genus Microsporum dan ditemukan pada anak-anak. Penyakit
ini biasanya dimulai dengan timbulnya papula merah kecil sekitar folikel
rambut. Papula ini kemudian melebar dan membentuk bercak pucat karena adanya
sisik. Penderita mengeluh gatal, warna rambut menjadi abu-abu, tidak berkilat
lagi. Rambut menjadi mudah patah, dan juga mudah terlepas dari akarnya. Pada
daerah yang terserang oleh jamur terbentuk alopesia setempat dan terlihat sebagai
“grey pacth”.
2. “Kerion”
Merupakan tinea kapitis yang disertai dengan
reaksi peradangan yang hebat. Lesi berupa pembengkakan menyerupai sarang lebah,
dengan serbukan sel radang disekitarnya. Kelainan ini menimbulkan jaringan
parut yang menetap. Biasanya disebabkan jamur zoofilik dan geofilik.
3. “Black dot
ringworm”
Adalah tinea kapiti dengan gambaran klinis
berupa terbentuknya titik-titik hitam pada kulit kepala akibat patahnya rambut
yang terinfeksi tepat di muara folikel. Ujung rambut yang patah dan penuh spora
terlihat sebagai titik hitam. Biasanya disebabkan Trichophyton.
Yang beresiko tinggi adalah sosioekonomi
rendah. Penyakit ini menular, meskipun cara penularannya masih diperdebatkan.
Anak-anak sering tertular dari temannya dan cara penularan dapat juga terjadi
pada satu keluaga. Penyebab dapat diisolasi dari sisir, sikat, kursi, topi, dan
alat-alat pencukur rambut. Mula-mula jamur tersebut mengadakan kolonisasi pada
permukaan kulit lalu terjadi reaksi peradangan bergantung pada hospes,
genera/spesies jamur penyebab dan lokasi lesi. Organisme tersebut bertahan
bertahun-tahun pada tubuh pasien, sehingga orang tersebut menjadi karier.
Ketegangan atau trauma dapat menimbulkan eksaserbasi.
d. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran
klinik dan lokalisasinya, serta pemeriksaan kerokan kulit dengan mikroskop
langsung dengan larutan KOH 10-20% untuk melihat hifa atau spora jamur.
e. Prognosis
Infeksi jamur yang ringan dapat sembuh spontan.
Reaksi peradangan yang hebat lebih mudah sembuh terutama yang disebabkan
spesies zoofilik. Infeksi ektotriks kadang-kadang dapat sembuh tanpa
pengobatan. Infeksi endotriks dapat berjalan kronis dan berlangsung sampai
dewasa.
f. Penatalaksanaan
1. Berikan obat
topical berupa sampo atau,selenium sulfida, sampo providone iodine atau sampo
yang mengandung derivate azol
Rasional : untuk mencegah penyebaran spora.
2. Pengobatan
sistemik dengan griseofulvin microsize dengan dosis yang direkomendasikan.
Lamanya pemberian 6-8 minggu
3. Dalam keadaan
tertetu perlu dipertimbangkan pemberian kortikosteroid oral Rasional : untuk
menghindari reaksi ‘id’ dan mengurangi peradangan.
g. Pengobatan
Pengobatan pada anak biasanya diberikan
per oral dengan griseofulvin 10-25 mg/kg BB/hari selama 6 minggu. Dosis pada
orang dewasa adalah 500 mg per hari selama 6 minggu. Griseofulvin “fine
particle” diminum bersama minuman yang mengandung lemak, mislanya dengan
susu. Penggunaan antijamur topika. Dapat mengurangi penularan pada orang yang ada
disekitarnya. Selain antijamur, pada bentuk kerion, kortikosteroid dapat
diberikan dalam jangka pendek, misalnya prednison 20 mg sehari selama 5 hari
dengan pertimbangan bahwa obat tersebut dapat mempercepat resolusi dan
menghindarkan terjadinya reaksi id.
v Tinea korporis
merupakan dermatofitosis pada kulit tubuh tidak
berambut (glabrous skin) di daerah muka, badan, lengan , dan glutea.
I. Tinea
Favosa
a. Definisi
Tinea Favosa adalah infeksi jamur kronis,
terutama oleh T.schoenleini, T.violaceum, dan M.gypseum. Penyakit ini merupakan
bentuk lain dari tinea kapitis, yang ditandai oleh skutula berwarna kekuningan
dan bau seperti tikus pada kulit kepala. Biasanya, lesinya menjadi sikatrik
alopesia permanen. Kadang, kulit halus dan kuku dapat terkena.
b. Manifestasi
Klinis
Kemerahan pada kulit dan terkenanya folikel
rambut tanpa kerontokan, hingga skutula dan kerontokan rambut, serta lesi
menjadi lebih merah dan lebih luas. Setelah itu, terjadi kerontokan rambut
luas, kulit mengalami atrofi, dan sembuh dengan jaringan parut permanen.
c. Diagnosis
Berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan
mikroskopis langsung, dengan menemukan miselium, “air bubbles” yang bentuk nya
tidak teratur. Pada pemeriksaan dengan lampu Wood tampak fluoresensi hijau
pudar (“dull green”).
d. Terapi
Prinsip pengobatan tinea favosa sama dengan
pengobatan tinea kapitis. Untuk menghilangkan skutula dan debris, hygiene harus
dijaga dengan baik.
II. Tinea
Imbrikata
a. Definisi
Tinea Imbrikata adalah penyakit yang disebabkan
oleh infeksi jamur dermatofita yang memberikan gambaran khas berupa kulit
bersisik dengan sisik yang melingkar-lingkar dan terasa gatal.
b. Etiologi
Penyakit ini disebabkan jamur dermatofita T.concentrium.
c. Gambaran
Klinis
Penyakit ini dapat menyerang seluruh permukaan
kulit halus, sehingga sering digolongkan dalam tinea korporis. Lesi bermula
sebagai makula eritematosa yang gatal, kemudian timbul skuama yang agak tebal
dan terletak konsentris dengan susunan seperti genting. Lesi makin lama makin
melebar tanpa meninggalkan penyembuhan dibagian tengah.
d. Diagnosis
banding
Diagnosis banding adalah eritroderma dan
pemfigus foliaseus.
e. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran
klinis yang sangat khas berupa lesi kosentris.
f. Pengobatan
Pengobatan sistemik : griseofulvin dengan dosis
500 mg sehari selama 4 minggu. Sering terjadi kambuh setelah pengobatan,
sehingga memerlukan pengobatan ulang yang lebih lama.
Obat sistemik yang lain adalah ketokonazol 200
mg sehari, itrakonazol 100 mg sehari, dan terbinafin 250 mg sehari selama 4
minggu. Pengobatan topical tidak begitu efektif karena daerah yang terserang
luas. Dapat diberikan preparat yang mengandung keratolitik kuat dan
antimikotik, misalnya salep Whitfield, Castellani paint, atau
campuran salisilat 5 % dan sulfur presipitatum 5%, serta obat-obat antimikotik
berspektrum luas.
v Tinea Kruris
a. Definisi
Tinea kruris adalah penyakit infeksi jamur
dermatofita di daerah liptan paha, genitalia, dan sekitar anus, yang dapat
meluas ke bokong dan perut bagian bawah.
Tinea kruris adalah dermatofitosis pada lipatan
paha, daerah perineum, dan sekitar anus.
b. Etiologi
Penyebab yang tersering yaitu T.rubrum,
T.mentagrophytes, atau E.floccosum.
c. Manifestasi
klinis
Kelainan ini dapap bersifat akut atau menahun,
bahkan seumur hidup. Lesi kulit dapat terbatas pada daerah genito-krural, atau
meluas ke sekitar anus, daerah gluteus dan perut bagian bawah, atau bagian
tubuh lain.
Lesi umumnya bilateral namun tidak selalu
simetris. Biasanya disertai rasa gatal dan kadang-kadang rasa panas. Kelainan
kulit yang tampak pada sela paha merupakan lesi berbatas tegas. Peradangan pada
tepi lebih nyata daripada daerah tengah. Pda bentuk kronis, lesi kulit hanya
berupa bercak hiperpigmentasi denagn sedikit skuama. Erosi dan keluarnya cairan
biasanya akibat garukan.
d. Penatalaksanaan
Prinsip pengobatan pada tinea kruris kurang
lebih sama dengan prinsip pengobatan tinea korporis.
1. Obat topikal’
Merupakan pilihan utama. Seperti pada
pengobatan tinea korporis, obat-obat klasik, derivat imidazol, dan derivat
alilamin dapat digunakan dengan cara pengobatan dan pengobatan yang kurang
lebih sama.
2. Obat sistemik
Pengobatan sistemik hanya diberikan atas
indikasi tertentu misalnya lesi yang luas atau recalcitrant karena
pemakaian obat topikal saja sudah cukup efektif. Obat yang dipakai antara lain
griseofulvin, ketokonazol, itrakonazol, flukonazol, serta terbinafin.
v Tinea Manus Et Pedis
a. Definisi
Tinea manus et pedis adalah penyakit yang
disebabkan oleh infeksi jamur dermatofita di daerah kulit telapak tangan dan
kaki, punggung tangan dan kaki, jari-jari tangan dan kaki, serta daerah
interdigital.
Tinea manus et pedis adalah infeksi deformitas
pada kaki, terutama di sela jari dan telapak kaki terutama yang memakai kaus
dan sepatu yang tetutup. Keadaan lembab dan panas merangsang pertumbuhan jamur.
Tinea manum adalah dermatofitosit. Semua bentuk di kaki dapat terjadi pada
tangan.
b. Etiologi
Penyebab tersering adalah T.rubrum,
T.mentagrophytes, E.floccosum.
c. Manifestasi
Klinis
1. Bentuk
intertriginosa
Manifestasi klinisnya berupa maserasi,
deskuamasi, dan erosi pada sela jari. Tampak warna keputihan basah dapat
terjadi fisura yang terasa nyeri bila tersentuh. Infeksi sekunder dapat
menyertai fisura tersebut dan lesi dapat ,eluas sampai kuku dan kulit
jari. Pada kaki, lesi sering mulai dari sela jari III, IV, dan V. bentuk
klinis ini dapat berlangsung bertahun-tahun tanpa keluhan sama sekali. Pada
suatu ketika kelainan ini dapat disertai infeksi sekunder oleh bakteri,
sehingga terjadi limfangitis, limfadenitis, selulitis, dan erysipelas yang
disertai gejala-gejala umum.
2. Bentuk
vesikuler akut
Penyakit ini ditandai terbentuknya vesikula-vesikula
dan bula yang terletak agak dalam di bawah kulit dan sangat gatal. Lokasi yang
sering adalah telapak kaki bagian tengah dan kemudian melebar serta vesikulanya
memecah. Infeksi sekunder dapat memperburuk keadaan ini.
3. Bentuk
moccasin foot
Pada bentuk ini seluruh kaki dari telapak, tepi
sampai punggung kaki, terlihat kulit menebal dan beskuama. Eritem biasanya
ringan terutama terlihat pada tepi lesi.
d. Penatalaksanaan
-
Kaus kaki yang dipakai dipilih kaus yang memungkinkan ventilasi dan diganti
setiap hari
-
Kaki harus bersih
-
Hindari memakai sepatu tertutup, sempit, sepatu olahraga dan sepatu
plastic sepanjang hari
-
Kaki dan sela-sela jari dijaga agar selalu kering
-
Sesudah mandi dapat diberikan bedak atau tanpa antijamur
1. Obat topikal
Bila lesi basah, maka sebaiknya direndam dalam
larutan kalium permanganat 1/5.000 atau larutan asam asetat 0,25% selama 15-30
menit, 2-4 kali sehari. Atap vesikel dan bula dipecahkan untuk mengurangi
keluhan. Bila peradangan hebat dikombinasikan dengan obat antibiotic sistemik.
Kalau peradangan sudah berkurang, diberikan
obat topikal antijamur berspektrum luas antara lain, haloprogin, klotrimazol,
mikonazol, bifonazol, atau ketokonazol.
Pada tinea pedis tipe papuloskuamosa dengan
hyperkeratosis, obat anti jamur topikal sukar menembus kulit.
2. Obat sistemik
Biasanya tidak digunakan. Namun, bila digunakan
harus dikombinasi dengan obat-obat antijamur topikal. Obat-obat sistemik
tersebut antara lain griseofulvin, ketokonazol, itrakonazol, dan terbinafin.
e. Pengobatan
Pengobatan pada umumnya cukup topikal saja
dengan obat-obat antijamur untuk bentuk interdigital dan vesikuler. Lama nya
pengobatan 4-6 minggu. Bentuk moccasin foot yang kronik memerlukan
pengobatan yang lebih lama, apalagi bila disertai dengan tinea unguium,
pengobatan diberikan paling sedikit 6 minggu dan kadang-kadang memerlukan
antijamur peroral, misalnya griseofulvin, intrakonazol, atau terbenafin. Bentuk
klinis akut yang disertai selulitis memerlukan pengobatan antibiotic, misalnya
penisilin prokain, penisilin V, fluklosasilin, eritromisin atau spiramisin
dengan dosis yang adekuat.
v Tinea Unguium
a. Definisi
Tinea Unguium adalah kelainan kuku yang
disebabkan oleh infeksi jamur dermatofita.
Tinea Unguium adalah kelainan lempeng kuku yang
disebabkan oleh invasi/ infeksi jamur dermatofit.
b. Etiologi
Penyebab penyakit yang tersering adalah T.mentagrophytes,
T.rubrum.
c. Faktor
predisposisi
Beberapa hal yang merupakan factor predisposisi
terjadinya tinea unguium adalah trauma, hiperhidrosis palmar dan plantar,
keadaan imunosupresi, gangguan sirkulasi, distrofi lempeng kuku oleh berbagai
sebab, dan salah posisi perifer kuku ke lipat kuku dan hiponikium. Biasanya
pasien tine unguium mempunyai dermatofitosis di tempat lain yang sudah sembuh
atau yang belum. Kuku kakia sering diserang daripada kuku tangan.
d. Manifestasi
klinis
1. bentuk
subungal distalis
Dimulai dari tepi distal atau distolateral
kuku. Proses ini menjalar ke proksimal dan di bawah kuku terbentuk sisa kuku
yang rapuh. Kalau proses berjalan terus, maka permukaan kuku bagian distal akan
hancur dan yang terlihathanya kuku yang rapuh yang menyerupai kapur.
2. Benruk lateralis
Penyakit ini mulai dengan perubahan bagian luar
alur lateral kuku yang menjadi kuning. Lesi meluas ke bagian distal atau
proksimal kuku. Kemudain terjadi paronikia ( peradangan jaringan sekitar kuku)
3. leukonikia
trikofita/mikotika
merupakan leukonikia atau keputihan di
permukaan kuku yang dapat dikerok untuk dibuktikan adanya elemen jamur.
4. bentuk
subungal proksimalis
bentuk ini mulai dari pangkal kuku bagian
proksimal terutama menyerang kuku dan membentuk gambaran klinis yang jhas, yaitu
terlihat kuku di bagian distal masih utuh, sedangkan bagian proksimal rusak.
Biasanya penderita tinea inguinum mempunyai dermatofitosis di tempat lain yang
sudah sembuh atau yang belum. Kuku kaki lebih sering daripada kuku tangan.
5. Bentuk distrofi
kuku total
Bentuk ini merupakan keadaan lanjut dari bentuk
klinis di atas. Pada bentuk ini kerusakan terjadi pada seluruh lempeng kuku.
e. Penatalaksanaan
Pengobatan dapat secara topikal maupun
sistemik, tetapi umumnya pengobatan topikal tidak efektif. Pengobatan topikal
dapat diberikan bila hanya 1-2 kuku yang terkena dan tidak sampai menyerang
matriks kuku.
Beberapa cara pengobatan topikal dan dapat
digunakan:
1. Cara klasik
menggunakan obat antidermatofit topikal dan sedapat mungkin menghilangkan
bagian yang rusak misalnya dengan pengikiran atau kuretase kuku. Obat
antidermatofit yang dapat dipakai antara lain golongan azol, haloprogin,
siklopirosilamin, dan alilamin. Solusio glutaraldehid 10% dan kirim
tianbendazol 10% dengan bebat oklusifjuga dapat digunakan.
2. Avulsi(
pengangkatan) kuku yang diikuti pemberian obat antidermatofit topikal. Avulsi
kuku dapat dilakukan dengan bedah skapel atau bedah kimia, misalnya dengan
menggunakan urea. Sediaan kombinasi urea 40% dan bifonazol yang terdapat di
beberapa Negara juga dapat dipakai untuk cara ini.
3. Obat topikal
antara lain cat kuku berisi siklopiroksolamin 5% dan cat kuku berisi
amorofilin.
Untuk pengobatan sistemik dapat dipakai :
1. Griseofulvin
0,5-1 gram/hari. Untuk infeksi kuku tangan dibutuhkan pengobatan rata-rata 4-6
bulan, sedangkan untuk kuku kaki 8-18 bulan. Tetapi keberhasilan pengobatan ini
rendah dan rekurensi tinggi.
2. Itrakonazol.
Semula dianjurkan penggunaan dosis 200 mg per hari selama 3 bulan pada infeksi
kuku kaki. Akhir-akhir ini penggunaan terapi pulse 400 mg per hari selama
seminggu tiap bulan member hasil baik dalam 3 bulan.
3. Terbinafin.dosis
250 mg per hari selama 1,5 bulan pada infeksi kuku tangan dan selama 3 bulan
pada kuku.
4. Pemeriksaan
penunjang
Bahan pemeriksaan berupa kerokan kulit berambut
halus ( glabrous skin), kulit berrambut, dan kuku.
Pada sediaan kulit dan kuku yang terlihat
adalah hifa, sebagai dua garis sejajar, terbagi oleh sekat, dan bercabang ,
maupun spora berderet (artospora) pada kelainan kulit yang lama dan/ atau sudah
diobati. Pada sediaan rambut yang dilihat adalah spora kecil (mikrospora)
atau besar (makrospora). Spora dapat tersusun di luar rambut (ektotriks) atau
di dalam rambut ( endotriks). Kadang-kadang dapat terlihat juga hifa pada
sediaan rambut .
5. Asuhan
keperawatan
v Pengkajian keperawatan
1. Biodata
2. Keluhan utama
3. Riwayat penyakit
sekarang
4. Riwayat penyakit
dahulu
5. Riwayat penyakit
keluarga
6. Riwayat psikososial
7. Kebiasaan
sehari-hari
8. Pemeriksaan fisik
v Diagnosa keperawatan
a. gangguan
konsep diri (body image) b.d perubahan penampilan fisik
b. kerusakan
integritas kulit b.d lesi akibat efek dari garuk
c. gangguan pola
tidur / istirahat b.d gatal/pruritus
v Intervensi Keperawatan
a. gangguan
konsep diri (body image) b.d perubahan penampilan fisik
hasil yang
diharapkan
û klien menilai keadaan dirinya
terhadap hal-hal yang realistik tanpa menyimpang
û dapat menyatakan dan menunjukkan
peningkatan konsep diri
û dapat menunjukkan adaptasi yang
baik dan menguasai kemampuan diri.
rencana keperawatan:
û bina hubungan saling percaya
antara perawat-klien
û dorong klien untuk menyatakan
perasannya, terutama cara ia merasakan sesuatu, berpikir, atau memandang
dirinya sendiri.
û dorong klien untuk mengajukan
pertanyaan mengenai masalah kesehatan, pengobatan, dan kemajuan pengobatan
dankemungkinan hasilnya.
û beri informasi yang dapat
dipercaya dan menguatkan informasi yang telah diberikan.
û jernihkan kesalahan persepsi
individu tentang dirinya, mengenai perawatan dirinya.
û hindari kata-kata yang mengecam
dan memojokkan klien.
û lindungi privasi dan jamin
lingkungan yang kondusif.
û kaji kembali tanda dan gejala
gangguan harga diri, gangguan citra tubuh, dan perubahan penampilan peran.
û Beri penjelasan dan penyuluhan
tentang konsep diri yang positif.
b. kerusakan
integritas kulit b.d lesi akibat efek dari garukan
hasil yang diharapkan
û Area terbebas dari infeksi lanjut.
û Kulit bersih, kering, dan lembab
rencana keperawatan:
û Kaji keadaan kulit
û Kaji perubahan warna kulit
û Pertahankan agar area luka tetap bersih
dan kering
û Kolaborasi dengan dokter dalam
pemberian terapi
û Anjurkan klien untuk memakai pakaian (
baju, celana, dalam, kaus kaki) yang mudah menyerap keringat.
c. gangguan pola
tidur / istirahat b.d gatal/pruritus
hasil yang diharapkan:
û klien dapat menjelaskan
faktor-faktor penghambat atau pencegah tidur
û klien dapat mengidentifikasi
tehnik untuk mempermudah tidur.
rencana keperawatan
û identifikasi faktor-faktor
penyebab tidak bisa tidur dan penunjang keberhasilan tidur.
û beri penjelasan pada klien dan
keluarga penyebab gangguan pola tidur
û atur prosedur tindakan medis atau
keperawatan untuk member sesedikit mungkin gangguan selama periode tidur (mis.
ketika individu bangun untuk makan obat, pada saat pengukuran tanda-tanda
vital)
û hindari prosedur yang tidak
penting selama waktu penting.
û anjurkan klien mandi air hangat
sebelum tidur dan mengoleskan obat salep (sesuai terapi) pada daerah lesi.
û kolaborasikan dengan tim medis
dalam pemberian antihistamin/antigatal.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Herpes merupakan kelainan kulit yang disebabkan
oleh virus. Terdiri dari herpes simpleks yang disebabkan oleh virus herpes
simpleks tipe I dan II , dan herpes zoster yang disebabkan oleh virus varisela
zoster.
Tinea merupakan kulit yang disebabkan oleh
jamur golongan Microsporum, Trichophyton, Epidermophyton. Berdasarkan
lokasinya tinea dibagi menjadi tine kapitis, korporis, kruris, manus et pedis,
dan unguium.
B. Saran
Baik herpes maupun tinea, sama-sama merupakan
kelainan kulit yang banyak membawa dampak tidak baik pada fisik dan psikologis
pasien , oleh karena itu, sebagai perawat harus bisa memberikan askep
yang tepat sehingga dampak yang timbul bisa diatasi.
DAFTAR PUSTAKA
û Djuanda, Adhi. 2000. Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin. Cet. 2, ed. 3. Jakarta : FKUI.
û Harahap, Marwali. 2000. Ilmu
penyakit Kulit, Cet. 1. Jakarta : Hipokrates.
û Hartanto, Hurawati.2009. Kamus Saku
Mosby. Jakarta. EGC
û Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta
Kedokteran, Ed. III. Jil. 2. Jakarta : Media Aesculapius.
û Price, Sylvia A. 2006. Patofisiologi
: Konsep Klinis Proses Proses Penyakit II. Ed. 6, Cet. 1 : Jil. II Jakarta:
EGC.
û Rahariyani, Loetfia Dwi. 2008. Asuhan
Keperawatan Klien Gangguan Sistem Integumen. Jakarta: EGC
û Smeltzer, Suzanne C. 2002. Bukur
Ajar Keperawatan Medikal Bedah III, ed. 8, Cet 2, jil. III. Jakarta : EGC.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar